MEREKA MAU MENANGNYA SENDIRI, DAN APARAT TETAP SETENGAH HATI.
Dan kita sudah mendengar, dua kali di Yogyakarta kemarin FPI, bisa juga MMI atau apalah, unjuk gigi menentang diskusi buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji. Yang pertama di UGM; pembatalan dilakukan oleh rektor. Yang kedua di LKiS; FPI (atau apalah namanya) menyerbu dan merusak. Sebelumnya di Salihara, Jakarta, FPI atau yang mirip juga menyatroni diskusi sehingga panitia terpaksa membubarkan diri.
Saya tak membahas buku itu karena belum membacanya, dan saya berpengandaian semua dan setiap penentang sudah membacanya sampai khatam, apalagi pemuka gerakan penentangan.
Misalkan saya nanti sudah membaca buku itu dan tak sepakat, tentu saya tak akan menggunakan kekerasan sebagai pernyataan sikap. Kalaupun saya menentang buku itu, maka pikiran harus dilawan dengan pikiran. Memberangus kemerdekaan berpendapat dengan kekerasan bukanlah hal beradab.
Sempat saya membayangkan kenapa FPI tak menggelar diskusi sendiri dengan mengundang si penulis — misalkan penulisnya bersedia?
Yang saya maksudkan adalah diskusi, bukan forum pengadilan yang menempatkan terundang sebagai terdakwa dengan kesempatan bicara terbatas, atau ketika bicara tak didengar malah ditimpa dengan seruan.
Sulit sekali bagi saya memahami FPI. Mereka senang memaksakan kehendak dengan berpijak di atas keyakinan bahwa apapun yang tak selaras dengan pikiran dan kepentingan mereka berarti anti-Islam. Dengan mengatasnamakan Islam lantas kekerasan, atau minimal ancaman penggunaan kekerasan, seolah sah.
Kesan saya selama ini terhadap FPI adalah mereka mau menangnya sendiri. Saya tak tahu, apakah semua acara dan kegiatan FPI, termasuk untuk menyerbu acara orang lain, juga sudah memberitahu kepolisian.
Misalkan FPI bikin acara, terlepas dari sudah memberitahu kepolisian atau belum, dan apapun isi acaranya, apakah FPI juga mau jika didatangi sekelompok orang yang tak sepakat, yang begitu tiba langsung berteriak-teriak dan minta acara dibubarkan?
Tentu jawaban terhadap pengandaian itu bukanlah, “Emang ente berani?” Itu namanya jawaban mau menangnya sendiri. Menempatkan diri sendiri sebagai hukum.
Jawaban macam itu tak beda dari jawaban preman — “Elu siape, gue siape, boleh aja kalo mau nyari penyakit” — ketika ditanya, “Kenapa kalo saya liwat rumah Abang kudu permisi, kalo kagak permisi bakal dijitak; tapi kalo Abang liwat rumah saya kagak pake permisi?”
Jawaban yang saya harapkan adalah, “Silakan saja datang dan mengganggu, bahkan mengacau, karena itu sesuai selera dan kebiasaan kami. Kami malah senang dan terharu bersua kaum yang segendang dan sepenarian, sehingga kami juga akan membubarkan diri tanpa melawan. Bahkan misalnya kami dikerasi pun kami tetap mengalah, apapun acara kami. Kami ikhlas dan tawakal.”
Masalah utama masyarakat luas yang terganggu oleh FPI adalah karena negara, dalam hal ini penegak hukum, membiarkan dirinya tersandera oleh FPI dan yang sehaluan.