↻ Lama baca 2 menit ↬

KORUPTORNYA SIH OPTIMISTIS AKAN BERJAYA.

Seorang cewek kelas tiga SMP bertanya kenapa korupsi tak bisa diberantas, hanya jadi berita, dan lama-lama membosankan. Saya tak tahu apakah gurunya juga mendapatkan pertanyaan serupa.

Presiden, dan mereka yang merasa dirinya kandidat presiden, mungkin juga kerepotan untuk menjawabnya secara ringkas dan jelas. Apalagi saya, kan?

Jawaban paling aman, sekaligus sok bijaksini, adalah, “Kita harus sabar dan tabah.”

Cukup itu saja jawabannya. Jangan bawa-bawa Tuhan karena koruptor juga bawa-bawa Tuhan, sejak sumpah jabatan hingga saat diadili mendapatkan dukungan berupa barisan pelantun doa. Bahkan saat divonis bebas pun  — tentu dengan pembuka “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” — seorang koruptor segera bersujud di lantai ruang sidang pengadilan tipikor.

Beberapa koruptor malah tampak religius. Saleh, begitulah. Rajin beribadah. Bahkan bermurah hati menyumbang rumah ibadah dan kegiatan keagamaan. Dan ketika ada yang mempersoalkan, mereka mendapatkan pembelaan dari orang baik, “Janganlah hendaknya kalian menjadi hakim atas perkara yang tidak kalian ketahui.”

Jika kita bilang korupsi sudah membudaya, rasanya juga basi. Kata beberapa pidato, kita adalah bangsa yang berbudaya (dan berakhlak) tinggi. Kalau korupsi sudah menjadi budaya, haruskah kita memerangi budaya sendiri?

Suatu hari seorang ibu bertanya kenapa koruptor dan keluarganya tak malu saat perilakunya terungkap. “Kayaknya santai aja, nggak ngerasa bersalah, malah bangga,” gerutu si ibu.

Si ibu mungkin lupa bahwa punya duit banyak itu bisa santai dan cengengesan, apalagi ancaman dari hukum dan negara untuk memiskinkan hanyalah wacana semata. Kalau bangga, entahlah. Setelah divonis bebas, sampai tingkat Mahkamah Agung, mungkin baru bangga. Koruptor dan keluarganya kompak. Mungkin kompak adalah bagian dari iman.

Tentang rasa bersalah, mungkin ada — tapi ringan dan segera luntur. Semacam pengendara yang terbiasa menerabas lampu merah dan menggilas garis pembatas jalan, begitulah. Memang salah, tapi santai sajalah, karena orang lain juga melakukan dan dibiarkan. Kalaupun suatu saat tertangkap polantas dan kena tilang, itu pasal nasib. Soal nahas saja.

Jadi, apanya yang masih menarik dari kasus demi kasus korupsi? Angka rupiahnya? Penampilan orangnya? Gosipnya? Jaksanya yang kurang galak dan hakimnya yang lembek?

Yang patut kita pelajari dari para koruptor adalah optimismenya. Mereka hakkul yakin bahwa masyarakat akan bosan dan menyerah.

Mungkin kita memerlukan para motivator kelas kampiun nasional berkemampuan sihir untuk merawat kesadaran kita: “Kalian bisa!  Pas-ti bi-sa! Jangan menyerah! Ja-ngan! Semangat, dong! Se-ma-ngat!”

Dung-dung prèt!

© Foto bekicot: Postyorous Menerous / Foto baju tahanan KPK: Memo Blogombal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *