Kenyamanan mengemudi? Yang tahu ya sopir. Kenyamanan sebagai penumpang? Ya penumpang, yang belum tentu senyaman sopir. Tergantung mobil apa.
↻ Lama baca 2 menit ↬

KENYAMANAN (DAN KEAMANAN) UNTUK SOPIR, BUKAN JURAGAN.

sopir sedang makan siang di kebayoran baru

Saya tak tahu dari sekitar 3,5 juta mobil penumpang berpelat nomor B (perkiraan terhadap berita Area) itu berapakah yang dijalankan oleh sopir. Maksud saya oleh pengemudi yang bukan pemilik mobil. Kesan saya, dari pengamatan sekilas, makin banyak mobil pribadi yang dikemudikan oleh sopir khusus. Si pemilik mobil atau keluarganya hanya menjadi penumpang yang dirajakan dan diratukan.

Saya ingat tiga belas tahun silam, seorang kawan menjadi bahan tertawaan (tapi saya tak ikut) karena menggunakan sopir untuk Daihatsu Charade putih keluaran akhir 80-an. Tak pantas, kata kawan-kawan. Alasan tak pantas adalah Charade itu city car, mestinya dikendarai sendiri. Selain itu Charade lawas bukanlah mobil mewah. Lebih pantas mobil lawas Toyota Crown Saloon atau Volvo S40 yang bersopir.

Begitu kuatnya citra sedan Volvo segala angkatan di pasar Indonesia sebagai mobil bersopir khusus sehingga pemiliknya tak mau menyetir sendiri. Takut dikira sopir. Ah, namanya juga persepsi. BMW seri 3 dari masa ke masa dianggap pantas untuk dikemudikan sendiri oleh pemiliknya, sementara Mercedes Benz C Class bisa oleh sopir maupun pemiliknya.

Oh, kita juga tahu, Kijang dan Isuzu segala zaman tak dianggap aneh kalau disopiri. Hal yang sama berlaku untuk Daihatsu Espass dan Suzuki APV, dan kemudian Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia. Masyarakat memetakan mana mobil yang layak disopiri sendiri dan mana yang tidak.

Sekarang kalau saya melihat iklan SUV beberapa merek mobil kadang geli. Hampir semuanya menawarkan citra kejantanan dan petualangan. Artinya memang disugestikan sebagai mobil yang dikendarai sendiri oleh pemiliknya. Tetapi kenyataan di jalan raya Ibu Kota menunjukkan makin banyak SUV yang bersopir. Hanya sopir gila yang membawa majikanya, yang juga gila, untuk bertualang selayaknya iklan. Sudah biasa jika sebuah Wrangler Rubicon dan Hummer H3 dikemudikan oleh chauffeur, sopir necis bersafari gelap.

Bagi saya ini jelas menunjukkan lalu lintas Jakarta Raya semakin tak nyaman untuk mengemudi. Penyebab utama ya kemacetan. Lalu unsur pendukungnya? Memang tenaga kerja lebih murah daripada di negeri industri Barat. Bagi yang tak mau kecapaian, dan pendapatannya memadai, membayar gaji pokok sopir baru setara UMR itu masih terjangkau. Tepatnya: lebih murah daripada biaya sakit jiwa akibat stres di jalan raya.

Dari sisi lapangan kerja ini juga bagus. Pertumbuhan kemakmuran kelas menengah-atas juga meneteskan rezeki bernama peluang kerja. Kelak ketika jalanan semakin sesak, dan area parkir menjadi rebutan, fungsi sopir semakin dibutuhkan.

Beberapa teman, dan kebetulan ibu-ibu, malah menganggap sopir pribadi itu menaikkan gengsi. “Kesannya keren, gitu. Kita tinggal nunggu sopir di depan lobi sambil ngetwit,” kata seorang perempuan muda yang bercita-cita memiliki sopir tapi tak merangkap sebagai suami.

Ya begitulah, konsep “kenyamanan berkendara”, yang menjadi mantera perancangan produk dan pemasarannya, di Indonesia berarti nyaman bagi sopir, bukan si pemilik mobil. Sayang hal itu tak mengubah cara mempromosikan mobil. Tapi siapa tahu lho, kelak muncul bonus “gratis: tenaga pengemudi selama tiga bulan” untuk pembelian mobil baru.

Mungkin itulah yang menjadi alasan pemerintah untuk membiarkan kemacetan dan enggan menata sistem transportasi publik. Setelah nanti mentok, karena sejak keluar dari rumah sebuah mobil tak dapat beranjak, barulah pemerintah menanya masyarakat enaknya bagaimana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *