Anda Nanti Memilih Siapa?

▒ Lama baca 2 menit

KETIKA ANDA MARAH DAN MUAK TERHADAP ANGGOTA DPR.

Jika Anda hari ini menyimpan kemarahan terhadap politisi busuk, terutama yang ada di DPR-RI dan DPRD, maka Anda telah mengabaikan nasihat dokter untuk menjaga kesehatan. Jangan biarkan tensi menanjak, atau lambung perih, atau kulit gatal, hanya gara-gara para kunyuk itu.

Jika Anda meluapkan kemarahan agar bendungan perasaan tak jebol di dalam, maka itu boleh-boleh saja – asalkan tidak mengalihkan sasaran. Tetapi percayalah, apapun makian dan penistaan Anda terhadap politisi busuk, itu tak membuat mereka bereaksi apalagi memperbaiki diri. Eh, ingat ya: hanya politikus (tunggal) dan politisi (jamak) busuk. Masih ada politisi yang genah, termasuk yang di parlemen.

Kasus terbaru tapi polanya lawas ya ini. Rencana membangun lapangan futsal Rp 2 miliar (batal). Renovasi toilet Banggar Rp 2 miliar. Renovasi ruang rapat Banggar Rp 20,3 miliar (batas atas anggaran malah Rp 24 miliar). Kursi impor yang terlalu mahal (lihatlah harga di Politikana). Kalender diri sendiri senilai Rp 1,3 miliar. Permintaan bantuan sosial Rp 4,3 triliun kepada Kementerian Pertanian. Biaya studi banding Rp 100 miliar selama setahun…

Orang bisa bilang, kesalahan bukan sepenuhnya ada pada mereka. Bukankah anggota  DPR bisa ganti lima tahun sekali tetapi birokrat di sekretariat jenderal tak berganti lima tahun sekali? Atau kalaupun birokratnya ganti, partiturnya tetap sama? Ah, sudahlah. Kalau anggotanya DPR-nya lempeng, dan waspada, serta ingat, tentu tak akan membiarkan diri tersesat apalagi sengaja menempuh jalan sesat.

Menistakan politisi busuk… 

Dalam Postyorous Menerous, yang menanggapi kartun kasar Tempo, saya sempat melontarkan canda ini:

Kalau ada orang menghina para politikus busuk di DPR secara terbuka, satu per satu, dan menistakannya secara personal sampai ke sisi yang sangat privat, kalau perlu memfitnahnya dengan cara paling kejam dan biadab, apakah yang terkena akan menggunakan hak hukumnya untuk menggugat? Jika diam, berarti mereka bebal. Jika menggugat, berarti mereka tak tahu malu, tak tahu diri.

Ah, perwujudan ide itu butuh syarat: pelakunya punya napas ekonomi yang panjang. Dia memilih tak mau mengaku bersalah apalagi meminta maaf, dan siap membayar denda serta masuk bui.

Di luar soal ekonomi tentulah pertanyaan kepada diri sendiri. Melakukan serangkaian hal itu sama saja mengabaikan hak asasi manusia. Biar bagaimanapun yang namanya politisi busuk itu masih diakui oleh masyarakat dan negara, serta keluarga besarnya, sebagai manusia. Bahwa mereka sendiri tak peduli apakah dirinya manusia, itu lain soal.

Sebetulnya yang lebih wigati adalah ini: kalau kita melakukan cara-cara yang tak terhormat, lantas apa bedanya kita dari mereka?

Mengawal rekrutmen politik. Ada saran? 

Maka persoalan kita adalah rekrutmen politik. Dari kandidat legislator yang kelak diajukan oleh partai untuk mewakili organisasi, bukan mewakili rakyat, tipe manakah yang akan Anda pilih? Bagaimana menilai kwaliteit daripada yang mana mereka?

Konon keledai paling bodoh pun takkan dua kali terantuk batu yang sama. Tetapi keledai optimistis selalu berani mengambil risiko. Tanpa partai, tanpa pemilu, maka transisi dalam demokratisasi akan jauh panggang dari api. Untuk sementara, demokrasi prosedural pun terpaksa kita terima. Demokrasi salah pilih terpaksa kita jalani. Kalau kita tak sabar maka kita mempersilakan diktator bengis, lalu penulis blog akan dianggap subversif.

Memang mendebarkan. Tetapi dalam pemilu nanti nomor urut kursi bukan pedoman – berbeda dari pemilu 2009 yang perubahannya di tengah jalan sehingga membuat kagot kandidat – sehingga para caleg mestinya bisa mengemas komunikasi yang lebih meyakinkan. Tanpa harus meminta caleg meneken dokumen atau menegakkan sumpah pocong, konstituen cukup membuatkan blog gratisan yang berisi janji setiap calon (atau malah web berbasis Wiki), berikut cuplikan kicauannya di linimasa. Minimal, kalau si politikus melenceng, keluarganya akan malu.

Kalau keluarganya tak malu? Misalkan Anda tinggal di rumah loteng, dan berada di bawah, berucaplah, “Kita serahkan kepada yang di atas.” Jika bagian teratas adalah langit-langit dan banyak tikusnya, maka urusannya akan dioper Dewa Tikus. Kalau urusannya sampai begini, berarti keputusasaan Anda sudah pol.

Tinggalkan Balasan