↻ Lama baca 5 menit ↬

MENGHARGAI KHAZANAH DALAM ERA DIGITAL.

»»» CARA HEMAT WAKTU: Bacalah judul, subjudul/intro, kemudian langsung ke paragraf penutup tulisan ini. :)

Judul di atas itu sebuah tanya. Anda, para penyuka musik Indonesia, yang mestinya tahu seberapa perlu, seberapa penting. Perlu berarti sebaiknya ada. Penting berarti harus ada — tidak boleh tidak, kata generasi tua.

Informasi digital

Nah, mumpung ada waktu saya tadi secara acak mencomoti beberapa CD saya lalu memasukkannya ke dalam komputer yang terhubung ke internet. Tepatnya terhubung ke Gracenote (dulu CDDB). Di sanalah musicID bersarang dan menjadi standar industri musik.

Maka agak aneh juga, untuk album baru, bikinan anak muda, ada yang tak menyertakan info pendukung yang ramah digital dalam kemasan fisik (CD).

Misalnya grup jazz Sarimanouk (F.A. Talafaral, Julian Marantika, Doni Sundjoyo, dan Sandy Winarta), dengan album Sarimanouk (LikeEarth Recording dan DeMajors, 2011). Tak ada judul lagu maupun judul album. Hanya ada judul generik oleh mesin pembaca: Track 01, Track 02, dan seterusnya.

Langkah Sarimanouk yang tumbuh dalam era digital ini tampaknya mengikuti seniornya yang mengalami dua dunia, analog dan digital. Lihat saja album Biola tak Berdawai dari Addie M.S. dan Victorian Philharmonic Orchestra (Kalyana Shira Film dan Warner Music Indonesia, 2003). Informasi dalam cover sleeve sangat lengkap, tetapi musicID hanya menampilkan Track 01, Track 02, dan seterusnya. Sayang sekali.

»» Lagu Biola tak Berdawai terlampir di situ. Info digital saya tambahkan. Mohon maaf untuk pemilik hak cipta. Catatan: Harap bedakan dari lagu yang berjudul sama dari Kangen Band.

Umumnya CD Indonesia sudah memuat informasi digital. Minimal judul album (= nama CD), nama artis, judul lagu, dan kadang tahun produksi serta genre. Nama komposer? Jarang dicantumkan.

Oh ya, ada juga yang berdata rangkap. Misalnya CD jazz keluaran Yogya ini (produksi bareng Dagadu, Kuaetnika, Komunitas Jazz Jogja, Jazz Mben Senèn, Wartajazz.com, dan Ngayojazz, 2011). Ketika CD saya masukkan ke dalam komputer, maka iTunes menanya dan mempersilakan saya memilih satu dari dua judul album. Lihatlah…

Sebenarnya CD itu konsisten. Pada bagian muka sampul tertulis Jazzing Java Sesarengan. Dan pada bagian “punggung” sampul (bukan bagian belakang) tertulis Ngayogjazz 2011: Mangan Ora Mangan Ngejazz. Akibatnya info digitalnya pun ada dua versi.

Masih dari Yogya, ada contoh lain yaitu Emha Ainun Nadjib, Menyorong Rembulan (Harika Music, 20??). Mungkin karena Emha dan Kelompok Kiai Kanjeng itu sosok lintas budaya maka judul CD dan trek tak menggunakan huruf latin maupun Arab. Coba Anda lihat tangkapan layar berikut ini…

Memang album ini hasil rekaman live, meskipun begitu mestinya pemenggalan tetap perlu. Karena hal itu tak dilakukan maka trek yang terbaca oleh komputer hanya ada satu (padahal mestinya ada delapan judul). Ini mirip memutar kaset yang terhubungkan ke komputer: semua lagu dalam satu sisi dianggap satu trek.

Sabar, masih ada contoh lagi. Yaitu CD Kantata Takwa, Kantata Takwa (Airo Production dan Musica Studio’s, 1990). Info digital dalam CD ini menyebutkan judul albumnya “Kantata Takwa” dan nama artisnya “Iwan Fals Cs”.

Jika merujuk pemahaman versi publik (dan pasar), itu tak salah. Tetapi untuk kelengkapan data mestinya tak begitu. Dalam Kantata Takwa Mark I ini juga ada Sawung Jabo, Rendra, Setiawan Djody, dan Yockie Suryo Prayogo (dalam CD tertulis Yockie Soeryoprayogo). Lihat ini…

Informasi digital itu mudah digandakan, dipertukarkan, dan disebarkan. Lihat saja CD audio bajakan: infonya pun terangkut. Begitu pula ketika treknya dikonversi menjadi mp3 dan kemudian diunggah-diunduh atau disiarkan (streaming).

Jika info digital ditulis sekadarnya, karena tak ada yang mengontrol, maka jejak khazanah menjadi kurang lengkap. Lantas kelak para penikmat lagu akan berdebat tentang tahun produksi, judul asli, komposer, dan seterusnya.

Maka lihatlah informasi digital dalam CD progrock Ballerina, Dance of Balet (Indonesian Progressive Society/IPS Records dan Sony BMG Music Entertainment Indonesia, 20??). Soal “balet”, bukan “ballet“, tampaknya memang konsisten: ada dalam judul album dan judul lagu. Tetapi seperti halnya blog ini yang kadang salah ketik, lagu Rock n Roll Saja Lah menjadi “ock n roll saja lah” dan Antara Jiwa menjadi “Amtara Jawa“.

»» Sampel lagu dari album ini terlampir di sana. Mohon maaf kepada pemilik hak cipta.

Jika menyangkut album utuh, bukan kompilasi satu sumber semacam “The Best of Kampretikus Band” maupun kompilasi multisumber misalnya “Mendayu Hits Collection”, infonya bisa minim. Nah, justru karena itu maka info digital pada sumber asal harus benar dan lengkap agar dapat dirujuk.

Informasi analog

Aha! Informasi jenis ini lebih mengasyikkan lagi. Biasanya tertulis pada sampul CD. Banyak yang minim informasi.

Misalnya saja CD Waldjinah, Koleksi Emas Ratu Langgam Jawa Volume 1 (Cipta Suara Sempurna, tanpa tahun). Hanya ada daftar lagu dan penciptanya. Padahal telinga saya mendapatkan kesan bahwa itu berbeda dari lagu versi awal Waldjinah. Dalam versi ini lebih “ngelektrik”. Ada suara kibor dan fill in perkusi elektronik. Pada lagu Walang Kèkèk, itu sangat kentara.

Sebagai sebuah kompilasi, saya mendapati kesan ini rekaman baru, dengan musisi yang sama. Bukan dari multisumber sejumlah album lama Waldjinah. Pertanyaan saya, ini direkam kapan, dan siapa saja musisi pengiring Waldjinah? Warna campursari yang menggejala pada 90-an itu sangat terasa. Sayang saya tak punya versi Lokananta untuk memperbandingkan.

http://i54.photobucket.com/albums/g110/kotakgambar/blogombal/blogombal-CD-titiek-puspa.jpgHal serupa terjadi pada CD Titiek Puspa, The Very Best of Titiek Puspa (Gema Nada Pertiwi, 2005). Tampaknya satu paket rekaman, bukan kompilasi dari multisumber. Memang ada sih yang iringan musiknya berbeda warna — misalnya Jatuh Cinta, Bimbi, dan Dansa Yok Dansa (diiringi oleh Mus Mualim?). Siapa sebenarnya musisi pengiringnya? Kapan direkam? Dalam Wikipedia Indonesia album ini tak terendus.

Miskin info analog juga terjadi pada banyak CD yang merupakan rilis ulang dari kaset. Misalnya Iwan Fals, Orang Gila (Harpa Record, tanpa tahun). Bagian dalam cover sleeve putih polos. Seingat saya, versi kaset dari album Iwan Fals yang racikan sound-nya bagus ini memuat nama sang komposer dan penata musik Billy J. Budiarjo sebagai sound engineer.

Sebagai pembanding, pada CD Mata Dewa (Airo dan Musica Studio’s, 1989), Hijau (Prosound Records, 1992), dan Suara Hati (Prosound Records, 2002), kreditnya lengkap. Nama penata suara sampai fotografer dan perancang grafisnya pun tercantum.

Adapun beberapa rilis ulang rekaman Chrisye dan Yockie masih mengangkut info lama dari versi kaset. Misalnya Jurang Pemisah (Pramaqua, versi 1977; versi CD 2001) dan Sabda Alam (Musica Studio’s, versi kaset 1978; versi CD, 2001). Nama musisi pendukung dan panata suara tercantum. Tetapi dalam Sabda Alam desainnya sudah berbeda, fotonya sudah diganti. Pada Pantulan Cita (Musica Studios, versi kaset 1981; versi CD, 2004) kredit lama masih terangkut, termasuk orang-orang tim visual.

Saya sudah membuangi semua kaset saya sehingga tak dapat membandingkan teks pada kemasan. Kaset itu merepotkan. Perpindahan trek lebih mudah pada piringan hitam — suaranya juga lebih “tebal”. Jadi bisa saja ingatan saya salah. Maaf. :)

Meskipun begitu ada  kenangan bagus saya tentang informasi dalam kaset lama Indonesia. Apa? Biarpun tak ditaja oleh produsen alat musik, sebagian musisi era “pop kreatif” (emang yang lain gak kreatip?) sering mencantumkan merek alat (misalnya Gibson, Fender, Korg, Moog, Paiste) berikut nama seri produk.

Sayangnya pada era Remaco, Dimita, Irama dan Metropolitan, pencantuman itu tak dilakukan sehingga kita tak melihat ada kredit untuk Farfisa. :D Akibatnya kita tak tahu biola apa yang dimainkan Adjie Bandi (C’Blues) dalam Ikhlas (Remaco, 1973). »» Lagunya terlampir di sini, saya unduh dari alamat yang saya lupa. Mohon maaf kepada pemilik hak cipta.

filmindonesia.or.id). Untuk musik mestinya bisa menyusul.

Sungguh aneh jika kita gemar mengunduh dan bertukar lagu berformat digital melalui internet (apapun pasal legalnya) tetapi kita tak mau tahu apa dan bagaimana lagu itu selain, “Pokoké saya suka lagunya. Soal lainnya embuh.”

Lantas suatu hari nanti jika sumber asing lebih lengkap menyajikan informasi musik Indonesia kita cuma merenges lalu merapal mantra rendah diri, “Soalnya orang sana lebih maju sih.”

Sudah saatnya musisi dan industri musik lebih peduli. Manajemen musisi/band dan pihak label mestinya bisa lebih cermat dalam penyajian informasi digital dan analog. Jika ingin dicatat oleh sejarah buatlah data yang baik.

Terima kasih Anda sudah membaca tulisan panjang ini. :)

Nota:
Maaf tidak melayani permintaan penggandaan CD audio dan konversi ke format digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *