↻ Lama baca 3 menit ↬

Setelah semuanya mereda, bahkan basi, saya pun merenung. Untung hasilnya bukan jengkel lalu tensi meninggi lantas minta dibelikan sepatu untuk kawin lagi, melainkan tersenyum kecut. Ya sedih, ya geli. Lebih menyedihkan lagi kalau saya kepergok sedang senyam-senyum kecut sendiri.

Apa saja sih masalahnya? Mari kita mulai, tetapi saya hanya mencomot beberapa saja.

• Tunggakan denda parkir anggota Perwakilan Tetap RI di PBB, New Yor, Amerika Serikat.

Jumlahnya terlalu, merupakan akumulasi beberapa tahun, USD 750.000 (sekitar Rp 6,8 miliar). Terlalu, karena para diplomat itu mengabaikan hukum tuan rumah selama bertahun-tahun, dan dalam kasus ini tak ada hubungannya dengan kekebalan diplomatik.

Juga terlalu, karena mereka hidup di kota kosmopolit yang angkutan umumnya beres. Pakde Totot meledek soal ini dengan pas: “… Mentang-mentang diplomat, padahal banyak warga New York yang jauh lebih dari hebat dari mereka lebih suka menumpang angkutan umum?”

Belum terlalu, tetapi saya menduga — tepatnya menuduh — para tuan diplomat itu ingin ada tempat di New York seperti pusat perbelanjaan di Jakarta: ada perlakuan khusus untuk mobil berpelat CD, bahkan bila perlu tak membayar, dan kalaupun membayar harus ringan. Di Cilandak Town Square, Jakarta, hal macam itu pernah diberlakukan — minimal dalam penempatan di parkiran.

• Badan Anggaran DPR-RI memboikot rapat APBN 2012.

Ini bentuk telanjang dari kejengkelan, yang saya bayangkan, seperti ini: “Salah sendiri kenapa KPK memeriksa teman-teman kami. Karena KPK itu milik pemerintah, ya kami nggak mau diajak merembuk urusan pemerintah. Bahwa anggaran itu menyangkut kepentingan rakyat, peduli amat.”

Tentu ada sejumlah opini pembenar dari para politikus, misalnya merujuk ke dalih hukum, dari status nota keuanan sampai UU APBN. Tetapi di atas hukum masih ada etika.

Nah untuk soal etika, memang harus belajar ke Yunani. Tetapi di Yunani ketemu siapa, itu tak penting. Padahal kalau mau, belajar etika dari sisi kognitif itu bisa didapat dari buku atau ambil kursus ke STF Drijarkara, Jakarta.

Kalau cuma kognitif, seperti dulu mendapatkan nilai bagus dalam penataran P4, apa gunanya?

Biarlah sapi dan kambing yang menjawab, karena rumput yang terus bergoyang kencang membuat mereka pusing. Demikian DM yang saya terima dari pemakan rumput. Dari Ebiet G. Ade saya belum mendapatkan SMS — karena memang tak saling kenal.

• Tawuran anak SMA di Bulungan, Jakarta Selatan.

Selalalu terjadi, dan kasus terakhir menjadikan wartawan sebagai lawan, lalu berakhir damai. Kalau saya tak salah ingat, akibat tawuran siswa SMA 9 dan SMA 11, yang bertetangga itu, pada 1994 (ralat: 1984 — terima kasih Triesti) kemudian Menteri Pendidikan Nugroho Notosusanto meggabungkan keduanya menjadi SMA 70. Karena kasus itu pula pemerintah memberlakukan seragam nasional untuk anak sekolah. Untuk SMA adalah putih dan abu-abu. Waktu itu diandaikan seragam akan menipiskan perbedaan identitas antarsekolah. Hasilnya? Masih ada tawuran.

Nah, setiap kali terjadi tawuran maka sejumlah orang, termasuk polisi dan kepala sekolah, akan bicara hal-hal makro. Sosiolog juga meramaikan. Itu tidak salah. Silakan saja.

Akan tetapi pernahkah ada tindakan tegas? Kita sama-sama melihat, ada saja sekolah dengan disiplin tinggi yang akan memecat pelaku tawuran dan kekerasan. Tak ada ketakutan terhadap orangtua murid, tak sibuk berkilah “anak-anak kami cuma korban, masa sih dipecat?”, dan ketidaktegasan yang lain.

Ketika persoalan makro tak kunjung teratasi bahkan bisa menjadi pembenar, maka setiap kepala sekolah mestinya bisa mengatasi masalah domestiknya dengan tegas. Kalau usia siswa sudah 17 tahun ke atas, polisi bisa memperlakukannya sebagai kriminal — terutama jika terdapat kasus luka bahkan meninggal. Persoalannya mau atau tidak?

Beberapa belas tahun lalu, Media Indonesia memuat berita tentang seorang ayah di Jakarta Barat yang akhirnya menemukan pembunuh putranya, siswa dari sekolah lain, lalu menyerahkannya kepada polisi. Si ayah menemukan tersangka karena berminggu-minggu dia memburunya. Kelanjutan berita tak saya ketahui, tapi kasus ini sama sekali tak lucu.

• Jakarta: Siswa SMA membawa mobil, pemarkirannya membuat macet.

Sudah pernah saya tulis di blog 69 kata (Kopi69.com). Ketimbang saya repot menulis ulang, dan supaya Anda tak perlu bertandang ke sana, saya salin dan tempelkan saja tulisan saya itu.

Ada sekolah yang tegas melarang secara tertulis, dan mengulanginya di depan para orangtua. Siswa membawa mobil hanya menambah kemacetan jelang masuk dan setelah bubar sekolah. Pemarkirannya menganggu warga sekitar.

Tetapi Kepala Dinas Pendididikan DKI Taufik Hadi Mulyanto bilang sekolah tak bisa melarang karena orangtua murid mengizinkan.

Pak, sekolah punya otoritas. Yang diperlukan adalah ketegasan. Seperti menghadapi anak tawuran. Sekolah yang tak tegas akan mengulangi masalah.

Sayang ketegasan itu mahal.

Betul-betul negeri semprul: gemar menambah masalah tapi enggan mengatasi. Termasuk blog ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *