Koreksi itu Bernama Siami

▒ Lama baca 2 menit

KRISIS PEKERTI KARENA KITA BINGUNG.

Di manakah nurani? Ada di setiap hati. Tak hanya pada hati Bu Siami, seorang ibu, yang melaporkan kecurangan ujian nasional di SD anak lelakinya, nun di Surabaya sana.

Baiklah, silakan Anda menyebut saya sok tahu, berani menyebut nurani ada di setiap hati. Saya sok tahu karena informasi yang saya dapat tak lengkap.

Mereka yang memusuhi Bu Siami dan keluarganya, bahkan mengusirnya, saya yakin masih memiliki nurani di sudut hati.

Mereka adalah orang-orang yang mencoba berdamai dengan realitas bernama jalan pintas, dan ketika dorongan untuk menjadi sekawanan serigala menguat, maka suara terbanyak boleh dianggap bisikan Tuhan, tetapi dalam hati kecilnya sesungguhnya tahu bahwa itu salah.

Mereka mempersalahkan pengawas ujian kenapa membiarkan pencontekan itu untuk penghiburan diri sekaligus pembelaan diri.

“Ini salah, ” bisik setiap sudut hati mereka.

“Memang salah, tapi di mana-mana lumrah. Sudahlah, tahu sama tahu saja, yang penting anak-anak kita tetap lulus, ndak perlu mengulangi ujian,” kata benak mereka serempak.

Kambing hitam mesti ditetapkan. Harus ada yang dikorbankan dalam pertempuran bisikan hati dan suruhan benak kolektif. Bu Siami adalah sasaran yang tepat.

Setiap orang punya nurani. Tetapi setiap orang juga punya benak yang seolah jalannya lempang pun masuk akal padahal tidak. Jika kecurangan dibiarkan jangan harap kita mendapatkan apapun sesuai standar, lalu ujung-ujungnya hampir semua orang dirugikan. Itu tak sesuai akal sehat.

Terhadap aneka penyimpangan, rakyat akhirnya menyerah, bahkan ketika dirugikan sekalipun. Kalau pemimpin dan para manusia rujukan tak bisa diandalkan, karena ternyata menjadi bagian dari penyimpangan, maka rakyat memilih ikut arus.

Ketika penyimpangan — dari kecurangan, pungli, suap, mencuri, sampai nepotisme — ternyata menguntungkan, maka setiap koreksi dianggap gangguan karena mengusik kenyamanan bersama. Koreksi itu bernama Bu Siami.

Jika menyangkut pendidikan, kita ingat skandal beberapa tahun lalu. Formula kelulusan diubah setelah ujian. Mereka yang protes adalah yang dirugikan. Yang diuntungkan tidak protes. Mereka sadar telah tak berlaku adil, tetapi kecurangan sesaat tetaplah dibutuhkan karena yang namanya standar ternyata bisa dikompromikan.

Kita ingat kasus Air Mata Guru. Sekelompok guru membuka aib sejumlah sekolah dan birokrat pendidikan dalam kecurangan ujian tetapi yang terkena nestapa ternyata sekelompok guru itu.

Jangan melawan arus, bahkan meskipun arus itu salah, kecuali diri kita cukup tangguh. Tanpa diajarkan secara verbal secara terus menerus pun setiap orang paham.

Jika Indonesia adalah sebuah kelas, maka rakyat adalah para murid pemetik hikmah yang pintar. Kalau anak nakal dibiarkan, bahkan dipuji padahal sering mencurangi apapun, maka anak manis sebaiknya ikut. Bu Siami adalah murid yang menyimpang: mengganggu keselarasan, mengusik kenyamanan bersama.

Ini serupa seorang warga di sebuah lingkungan yang membangun rumah baru di atas bekas rumahnya dengan mengurus IMB secara prosedural. Umumnya tetangga, terutama pengurus lingkungan, menampakkan ketidakrelaan karena ketika menambah teras dan kamar mereka tak mengurus IMB. Tindakan seorang warga mengurus IMB dianggap sebagai pengingat kepada birokrat pengawas bahwa di sebuah kantong permukiman yang sadar IMB hanya satu.

Akan tetapi jika bicara prosedur ternyata yang tertulis dan terwujudkan sungguh jauh panggang dari api. Karena naluri mendorong makhluk hidup menyesuaikan diri, maka rakyat pun mengamini tujuan hanya demi tujuan tetapi tak hirau cara. Toh orang lain juga melakukan. Toh masing-masing juga memetik manfaat.

Tujuan. Hasil nyata. Instan. Itu lebih utama. Ijazah dari hasil membeli bukan hal yang memalukan, dan dalam segala kesempatan masyarakat tak peduli apakah gelar berganda (yang belum tentu membeli) juga diimbangi oleh kecendekiaan. Lihat saja poster-poster kampanye pemilu dan pilkada.

Kita semua tahu, dan sadar, bahwa itu semua salah. Tetapi kita juga tahu, dan sadar, bahwa jika kita lemah janganlah melawan. Terlebih ketika kita tak ikutan malah dikorbankan. Tak ikut teman korupsi malah dianggap sebagai batu sandungan dan karier bisa terganjal. Apalagi kalau melawan.

Persoalan besar kita adalah pekerti. Anehnya ketika kita bicara tentang akhlak seolah topik hanya dibatasi pada urusan seks. Korupsi tak termasuk. Ralat: termasuk tetapi bukan prioritas.

Pendekatan ini pun merupakan hasil adaptasi terhadap realitas. Ketika soal lain yang lebih kompleks dan pelik sulit diatasi, bahkan masing-masing orang diuntungkan, maka soal remeh dikedepankan. Kenapa? Sepintas lebih mudah, terutama dalam memilah siapa siapa yang bersusila dan bukan, kita dan mereka.

Dalam korupsi, pemilahan terasa sulit dan berat, apalagi kalau kita terlibat — sekecil apapun.

Di manakah nurani dan akal sehat? Sedang bersembunyi. Mereka akan keluar setelah bosan dan tak tahan. Entah kapan.

© Foto Siami suaminya, Widodo, oleh Imam Wahyudiyanta/detik.com

Tinggalkan Balasan