Kiriman Peti Jenazah: Matinya Batas Humor

▒ Lama baca 2 menit

ANTARA KREATIVITAS GILA-GILAAN DAN NGAWUR MESTINYA BERBEDA.

Triman, salah satu awak Rumah Langsat, melapor kepada saya sekitar setengah sepuluh pagi tadi, “Pak, di rumah bawah ada kiriman peti mati.”

Saya ke rumah bawah, markas Salingsilang di Jalan Langsat 1/16, Jakarta Selatan. Memang ada peti mati kecil ukuran bocah untuk Enda Nasution, teman sekongsi saya.

Dua sejawat, Muki Reantara dan Diah Kesuma, sudah agak tenang. Mereka menunggui peti di teras depan itu sambil memeriksa Twitter dari ponselnya. Adapun Anggie yang datang belakangan sempat melongo dan bingung ketika melihat peti mati di teras.

Sekitar lima belas menit sebelumnya, ketika mobil jenazah tiba, salah seorang anggota staf, Yanto, hanya keget dan bingung: satu peti mati dikeluarkan, tiga lainnya masih di dalam mobil.

“Saya gemeter, maktratap, deg-degan sampe lemes, Pak,” katanya. Adapun Enda masih belum kembali dari Singapura.

Menjelang sore, ketika saya bertemu istri di sebuah kedai, awal cerita saya tentang peti sudah membuatnya terkejut, jantungnya berdebar, padahal baru pada permulaan kisah, “Tadi pagi ada kiriman peti mati ke Langsat…”

Cerita selanjutnya sudah kita ketahui. Ada sepuluhan penerima kiriman peti mati, umumnya perusahaan media, jasa komunikasi, dan penggiat media sosial. Bahkan terkabar si pengirim berencana menyebar seratusan peti. Pengirimnya, sejauh informasi polisi petang ini, adalah Sumardy Ma, CEO Buzz & Co, perusahaan komunikasi pemasaran di Jakarta.

Apapun tujuannya, bagi saya lelucon Rest in Peace Soon itu berlebihan, tak pada tempatnya. Kenapa? Yang akhirnya direpoti bukan hanya perorangan yang menjadi sasaran melainkan juga orang lain — itupun tak hanya sejawat masing-masing, karena awak ambulans juga dimintai keterangan oleh polisi.

Saya mendengar, tetapi belum melakukan tabayun, bahwa seorang satpamwan salah satu kantor peti mati mendapatkan tindakan administratif (dipecat?) karena membawa masuk peti ke dalam kantor.

Jika ini benar, maka si pengirim peti tak menghiraukan nasib orang lain. Dia hanya memikirkan sensasi dan kampanye viral melalui internet sehingga mendapatkan publisitas luas dengan biaya murah, lalu peluncuran kantornya sukses.

Tadi pagi saya sempat membayangkan jika si penerima tinggal di kompleks permukiman padat, lantas penjaga kantor bingung dan berteriak-teriak, sehingga tetangga berdatangan, bukan tidak mungkin awak mobil jenazah akan mengalami hal tidak menyenangkan.

Atau, misalkan saja, kantor yang dikirimi sedang berduka karena keluarga anggota staf ada yang meninggal, kiriman peti mati sudah salah secara berlipat: ya barangnya, ya waktunya, ya sasarannya, ya tempatnya. Apalagi jika di sekitar kantor tersebut, atau bahkan dalam lingkungan kantor, ada anak kecil.

Tak ada yang salah dengan mengemas pesan berbau kematian untuk menarik perhatian asalkan tak membuat penerima marah, sakit jantungnya kumat, dan lebih penting lagi tak mendatangkan akibat buruk bagi orang di sekitar penerima.

Tanpa pertimbangan matang, maka batas kreativitas gila-gilaan dan ngawur menjadi kabur. Ketika hiruk pikuk media sosial menjadi sihir yang menggoda, maka ada saja yang kurang bijak dalam memanfaatkannya karena mementingkan penjaringan perhatian dari khalayak dalam tempo sesingkat mungkin, apapun eksesnya.

© Foto mobil jenazah: Diah Kesuma

Tinggalkan Balasan