Cara DKI Menyehatkan Pejalan Kaki

▒ Lama baca 2 menit

SEDIAKANLAH JEMBATAN PENYEBERANGAN YANG MELELAHKAN.

Ini kabar basi. Siapkan Rp 3.500 untuk membakar kalori dan mengukur laju keausan profil sol walking shoes Anda. Cobalah total lintasan 500 meter, di jembatan penyeberangan Semanggi, Jakarta, yang menghubungkan halte busway Koridor 1 (Blok M-Kota) dan Koridor 9 (Pinangranti-Pluit). Kemarin malam selewat pukul delapan saya buktikan.

Oh, alangkahnya panjangnya jembatan!

Sudah banyak orang yang terpaksa mencoba, karena keadaan, lalu menghibur diri dengan menyebutnya sebagai pilihan tak terelakkan.

Singkat kata: bagaimana memperlakukan pejalan kaki, yang nota bene pengguna angkutan umum, adalah cerminan jalan pikiran dan telaga hati penguasa kota.

Jika Anda bukan orang Jakarta, atau orang Jakarta tapi tak pernah melintasi jembatan penyeberangan itu, saya punya ilustrasi. Ikuti panah kuning.

Taruh kata dari titik A (depan Polda Metro Anda) naik jembatan penyeberangan ingin ke titik D (sisi barat Plaza Semanggi).

Jika Anda tahu caranya, maka setelah naik jembatan beloklah ke kanan, turun titik B (ujung jembatan depan Hotel Crowne Plaza Holiday Inn), sebelah plaza. Lalu berjalanlah menuju Balai Sarbini, bagian dari plaza, atau ke kedai kopi di kolong plaza.

Karena plaza luas, dan Anda berharap bisa masuk dari titik E (sisi timur laut, depan Universitas Atma Jaya), maka cobalah rute lain, tetap di atas jembatan penyeberangan.

Belilah karcis TransJakarta seharga Rp 3.500. Lalu berjalanlah terus, terus, dan terus, dengan melewati loket, sampai akhirnya bertemu ujung tangga lain. Bercabang, pilih yang menuju trotoar, dan seterusnya. Hati-hati jangan sampai tersandung.

Rumit, ya? Begini saja. Bayangkanlah dari jembatan penyeberangan itu Anda merasa bisa melompat ke pelataran plaza (titik C).

Oh, tapi ternyata tak mungkin. Jika titik terjun Anda adalah gawang sebuah lapangan sepakbola, maka Anda harus berjalan membujur menuju gawang satunya. Setelah itu Anda menuju gawang pertama tadi. Rutenya C-E-C tapi beda lintasan. C-E lewat atas, dan E-C lewat bawah.

Kok nggak praktis? Bukannya tujuannya ke E, bukan C lagi? Biar dramatis.

Perasaan saya sih mengatakan jarak tempuhnya melebihi penyeberangan lapangan sepakbola (kelas tarkam) secara membujur.

Keajaiban perencanaan dan pembangunan

Banyak cerita kenapa ada jembatan sepanjang itu. Dulunya ada niat akses ke halte yang “di tengah jalan” itu melalui jalan kolong (underpass) di bawah Jembatan Semanggi. Lalu tak jadi. Dan dibuatlah jembatan penyeberangan.

Sekali lagi saya katakan cerita ini basi. Ada ribuan orang yang setiap hari melintasi jembatan itu dan tak mengeluhkan secara terbuka agar dibaca banyak orang.

Mereka adalah orang-orang yang karena keapabolehbuatan akhirnya menjadi realistis. Malas untuk rewel dan bekoar karena sudah capai dan jera. Mereka bukan turis di kota sendiri; bukan orang yang punya kemewahan bernama keisengan untuk mencoba lintasan.

Mengapa bisa ada proyek seperti itu? Saya membayangkan diri sebagai penguasa kota. Dan saya punya jawaban, “Kalo mau protes mestinya dulu dong, waktu mau dibangun. Bukan setelah jadi baru rewel. Dasar kelas menengah nanggung!”

Menganaktirikan pejalan kaki

Sebuah kota akan menjadi manusiawi, nyaman untuk berjalan kaki (termasuk bagi perempuan hamil dan lansia), jika kelas menengahnya ikut menikmati, dan terlebih lagi para perencana pun kerap memanfaatkan akses pedestrian.

Sayangnya itu yang tak terjadi di Indonesia. Jangan sakit hati jika muncul tanggapan dari para tuan, “Salah sendiri kenapa nggak naik mobil.”

Bagaimana dengan perempuan hamil? “Salah sendiri kenapa hamil.” Dan orang lanjut usia? “Salah sendiri kenapa sudah tua masih bepergian.”

Semoga kedua jawaban terakhir tadi takkan pernah terucapkan.

Padahal nun di negeri lain yang kotanya beradab, dua kepentingan (kaum ibu dan kaum sepuh 60 tahun ke atas) itu terpenuhi.

Tinggalkan Balasan