↻ Lama baca 2 menit ↬

“Tolong, bisa nggak Mas datengin sepuluh bloggers yang juga pengguna Twitter dalam acara buat klien saya?” tanya seseorang dari perusahaan jasa komunikasi pemasaran via telepon.

Jangankan sepuluh, satu saja tidak dapat — kecuali saya mengajak seseorang, tapi seperempat jam sebelum berangkat saya minta mendaftar ke layanan blog, lalu buka akun Facebook, Twitter, dan Koprol.

Kalau saya mendatangkan diri saya sendiri tampaknya bisa — tapi besar kemungkinan tidak memberi “efek yang signifikan”. Yang pasti saya bukan pengerah narablog, dan juga belum menjadi agen penyalur tukang teriak untuk demonstrasi atas nama ini dan itu.

Hiruk pikuk media sosial di internet membuat sebagian pelaku bisnis gagap. Maka muncullah aneka kesalahpahaman.

Ingat pemilu dua tahun lalu? Cerita yang sampai di kuping politisi sini adalah tentang sihir era digital, sebagai akibat pesan yang sampai telah tereduksi menjadi “Obama sukses karena internet”.

Maka kita sama-sama menyaksikan bagaimana politisi, berikut tim sukses dan agennya, sibuk memainkan media sosial dengan tujuan jangka pendek menambah konstituen, yang diawali dengan menghimpun kerumunan sebesar dan serapat mungkin — tapi hanya sebatas itu.

Sebagian kalangan bisnis? Sama saja. Maunya instan, dengan pendekatan utama “bagaimana menguasai media sosial dan penggunanya”. Oh, menguasai… :D

Beberapa hal yang tak mereka pahami, misalnya:

• Media sosial adalah milik masyarakat. Kalau Facebook dan Twitter tutup, orang akan memilih layanan pengganti.

• Kendali isi maupun interaksi lebih banyak pada pengguna. Yang bisa dilakukan oleh penyedia layanan hanyalah menjaga agar server kuat dan lontaran konten tak melanggar ketentuan layanan yang berpijak pada kenyamanan umat.

• Meskipun pengaruh peer group kadang kuat, pengguna media sosial adalah orang-orang mandiri. Suka atau tak suka terhadap sesuatu — termasuk produk dan merek — adalah hak asasi dan tak harus disertai argumentasi. “Yah, nggak suka aja, emang napa?” adalah aksioma.

Bagaimana memanfaatkan media sosial dan menyapa penggunanya, ada banyak teori. Mungkin setiap pekan teorinya bertambah. Tapi intinya tetap: bagaimana menyapa manusia, bagaimana menempatkan diri.

Maka ketika brand besar punya akun di media sosial, tapi belum menjadi bagian dari strategi komunikasinya, itu belum merupakan jaminan bahwa dia dikenal dan diikuti.

Lihat saja akun @cocacola dan @levis di Twitter. Coke (main di Twitter sejak 26 Maret 2009) punya 191.276 pengikut, dan Levi’s Amerika (ikut Twitter sejak 15 Oktober 2010) punya 249 pengikut — tentu jumlah ini terus bertambah.

Bandingkanlah dengan @sherinamunaf (sejak 21 April 2009) yang punya 854.026 pengikut. Bandingkan juga dengan si mbakyu ehem-ehem ini: @KimKadarshian (sejak kapan?) dengan 6 juta pengikut. Atau sinyo imut @justinbieber (sejak 28 Maret 2009) yang punya 6,8 juta pengikut.

Memang kasusnya berbeda, dan butuh penjelasan khusus antara “brand barang” dan “seseorang yang menjadi brand“. Eh, saya tak bermaksud menyederhanakan brand sama dengan merek dagang, lho. Kedua hal itu berbeda.

Tentu, brand besar bisa punya akun khusus untuk kepentingan komunikasinya, misalnya kampanye. Lihat saja @MyMagnumID dari Wall’s (Unilever) yang punya 4.774 pengikut.

Tapi harap diingat, dalam bisnis, dan terutama kampanye, urusannya bukan sekadar jumlah pengikut di internet. Semuanya terpulang kepada perencanaan komunikasi.

Maka ketika ditanya seorang pebisnis bagaimana membeli pengikut, saya pun bingung. Setahu saya belum ada toko yang menjualnya, apalagi disertai paket kloning (berikut diskon dan bonus, plus layanan purnajual).

*) Dimuat di Kolom Paman Tyo, detikinet Kamis 3 Februari 2011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *