Melalui SMS, ada saja orang yang menawarkan nomor cantik atau ganteng, bahkan ada yang harganya sekitar bawah Rp 100.000. Minimal tiga angka terakhir mirip dengan nomor utama yang sudah saya pakai sejak akhir abad lalu. Tentu dari beberapa operator. Saya tak tertarik. Kenapa?
Pertama: punya nomor baru sama saja meminta saya menambah ponsel. Kedua: kalaupun tak menambah ponsel, saya harus merawat kelangsungan hidup nomor-nomor cakep (berlipstik?) yang mungkin keluaran salon itu.
Bukan cuma itu sih. Nah, ini alasan ketiga: saya yakin, secantik atau seganteng apapun nomor saya pasti tak akan diingat orang karena mereka langsung memasukkan nomor saya ke buku telepon pada handset. Ini wajar, karena orang lebih mudah mengingat nama ketimbang belasan angka.
Lantas kenapa tawaran nomor cantik, bahkan dengan harga jutaan rupiah (nomor akhir enam digit 333 333, setelah prefix operator, ditawarkan Rp 60 juta), masih ada terus?
Karena ada yang butuh. Ingin terlihat beda dan istimewa, seperti pelat nomor mobil. Tak soal, itu memang hak. Soal kecocokan harga itu lain perkara.
Kalau nomor biasa yang belasan digit, dengan angka unik yang mudah diingat, mungkin masih diperlukan untuk keperluan khusus, semisal posko bantuan korban bencana alam. Tapi untuk keperluan personal, menurut saya tidak menarik. Dulu sih dianggap keren. Tepatnya: dulu ketika pemilikan ponsel belum meluas.
Kenapa dianggap keren ya karena sebelum media sosial meluas, identifikasi seseorang adalah melalui nomor ponsel. Kini ketika setiap hari anggota jejaring sosial dan mikroblog bertambah, nomor khusus tak begitu diperlukan. Apalagi orang-orang mengurangi SMS dan e-mail karena komunikasi tertutup bisa dilakukan melalui media sosial bahkan dari ponsel.
Untuk fixed line, atau sambungan telepon berkawat, nomor khusus masih menarik. Selain memiliki short code (nomor pendek) dan nomor bebas pulsa untuk layanan konsumen (berawalan 0-800), tak sedikit perusahaan yang memakai nomor cantik pada lima digit terakhir. Termasuk di dalamnya adalah lembaga keuangan.
Ada bagusnya sih, karena mudah dikenali. Termasuk bagi konsumen yang sering jengkel menerima tawaran asuransi dan kartu kredit. Begitu masuk penggilan dari nomor tertentu maka tak usah diladeni. Teman saya, seorang aktivis media sosial yang kondang (di Twitter punya 30.000 lebih pengikut), punya jawaban keren, “Pokoknya kalau dari nomor bank Anda berarti salah sambung, Mbak!”
Sayang jawaban yang sama tidak bisa diberikan jika panggilan masuk dari nomor khusus itu menagih cicilan utang kartu kredit. Bisa-bisa penelepon berikutnya adalah dari nomor biasa, tapi nadanya kurang bersahabat bahkan mengancam. Biasa, dari debt collector. :)
* Dimuat dalam Kolom Paman Tyo, detikinet Senin 10 Januari 2011