Nambah Anak. Bener, Enak?

▒ Lama baca < 1 menit

KALAU ANDA SEKARANG 25 TAHUN, 15 TAHUN LAGI MUNGKIN BERAT, LHO…

“Suka-suka gue bikin anak. Mau satu, mau banyak, kalo gue bisa ngempanin ama nyekolahin, negara mau apa? Hak asasi gue dong!”

Lontaran macam itu pernah saya dengar, lebih dari sekali, dari orang terpelajar yang berbeda.

Kalau tak salah ingat lima tahun lalu Kompas sudah mengingatkan bahaya ledakan penduduk pascareformasi. Awal pekan ini koran itu mengulanginya. Dikatakan, setiap tahun lahir 4,5 juta bayi — setara dengan penduduk Singapura.

Nah ini bahan renungan kita:

Sensus 2010 melaporkan jumlah penduduk  237,6 juta, artinya 3,5 juta lebih banyak dari yang diprediksikan. Penduduk banyak jadi masalah jika kurang berkualitas. Kalau mencatut istilah Mbilung lalu mengembangkannya, akan mengerikan jika mayoritas penduduk cuma “karung bergigi”. Hanya kuat makan. :D

• KB gagal? Pangkal soal pertambahan penduduk selama sedasawarsa terakhir adalah diabaikannya program KB (keluarga berencana). Saya tak tahu apakah tumbangnya Orde Baru juga berarti leganya banyak orang dari segala kungkungan oleh negara termasuk dalam urusan reproduksi.

• Piramida sekarang didominasi kelompok usia 0-9 tahun dan kelompok usia tengah 15-29. Kelompok pertama ya baru lahir setelah reformasi 1998. Kelompok usia kedua merupakan produk 1970-80 — padahal saat itu sudah banyak pasangan ber-KB. Saat itu pula popular ungkapan “kondom bocor”.

• Kaum sepuh sebagai beban. Nah, kelompok tengah itulah yang nantinya menanggung kelompok usia 60 tahun ke atas; kelompok sepuh yang bertambah karena meningkatnya tingkat harapan hidup, tapi sekaligus lebih gampang penyakitan,sementara tunjangan sosial dari negara masih lemah. Nggak enaknya,  kelompok usia tengah itu nantinya juga berkemungkinan repot menghidupi dirinya.

Ah, itu urusan makro, kata Anda. Cuma tafsiran statistik, kata pasangan Anda. Mungkin. Tapi dari beberapa obrolan saya mendapatkan pembenar dari beberapa pasangan usia 30-35 yang ingin beranak banyak. Yang terlahir dari keluarga sedikit anak mengaku kesepian kalau hanya beranak dua bahkan satu.

Sementara yang terlahir dari keluarga besar menganggap tak masalah jika banyak anak, karena pengalaman keluarga membuktikan itu semua dapat diatasi karena yang namanya rezeki pasti ada. Selain itu ya alasan kesepian kalau sedikit anak tadi.

Alasan kesepian juga saya dapatkan dari beberapa pasangan usia 40-45 (maksud saya: terutama prianya) yang punya anak ketiga dengan jarak usia dari anak kedua 5-8 tahun. Ada sih guyonan dari istri, misalnya, “Daripada dia (suami) dapat anak dari perempuan lain.” Selain itu peningkatan kesejahteraan juga menambah rasa pede untuk punya anak lagi, dari catur warga menjadi panca warga.

Kalau menurut Anda?

*) Tulisan ini bukan titipan pihak manapun

Tinggalkan Balasan