↻ Lama baca < 1 menit ↬

Dari tribun atas, dengan suara tak jelas karena dilindas gema ruang, Bu Guru mengingatkan para anggota keluarga murid, “Kami mohon Bapak, Ibu, dan Saudara-saudari tidak memasukkan foto dan video acara ini ke Facebook.” Sayang, Bu Guru tak menyebut Twitter.

Saya tak tahu apakah Sabtu pekan lalu itu, dari sebuah gedung olahraga di pinggiran Jakarta, sudah ada yang telanjur lancang menggunggah gambar melalui ponsel karena lupa dan terburu nafsu. Saya cek barusan sudah tidak ada, mungkin sudah dihapus.

Sore itu adalah gladi kotor tim sebuah sekolah untuk suatu kejuaraan nasional akhir Desember ini. Menyiarkan persiapan tim – dari meteri, olah gerak, sampai seragam – sama saja membocorkan informasi kepada kompetitor. Apalagi berkali-kali sekolah itu juara pertama – dan kadang kedua. Selalu diintip lawan.

Euforia media sosial memang bisa membuat sebagian orang lupa diri, bahkan berlomba ingin jadi reporter terlekas. Apa yang mestinya konfidensial, dan bisa didapat karena kepercayaan, dengan mudah akan diumbar. Kalau banyak respon dan reaksi akan bangga dan puas – bahkan kecanduan.

Bagi kaum pengumbar ini ada paket berisi tiga kilah andalan:

  • Pertama: “Sekarang zamannya keterbukaan.”
  • Kedua: “Sekarang ini zamannya berbagi dan pamer.”
  • Ketiga: “Kalau nggak mau ketahuan ya jangan ngundang orang dong.”

Nah, untuk kasus di luar Sabtu itu, saya pernah menanya kaum pengumbar alias pembocor bagaimana kalau mereka yang menjadi korban. Misalnya setelan mempelai untuk hari pernikahan disiarkan di Twitter dan Facebook seminggu sebelum hari H. Atau judul berikut abstrak skripsi maupun tesis, terutama bagan yang istimewa, disiarkan sebelum ujian. Lebih celaka lagi, materi untuk pitching disiarkan sebelum pertemuan dengan calon klien.

Penyiar kebocoran itu bisa anggota tim, lingkaran dalam yang dekat tim, maupun orang luar.

Anda tahu apa rata-rata jawaban kaum ini? Merenges. Ya, hanya merenges. Hanya satu-dua yang mengaku, “Kalo dibalik jelas nggak mau, dong!”

Merenges dan lepas tanggung jawab itu gratis. Nggak perlu beli. Stoknya berlimpah. Semua orang bisa dan punya.

Butuh waktu agar orang makin dewasa di tengah euforia media sosial.

*) Dimuat dalam Kolom Paman Tyo, detikinet.com, Senin 20 Desember 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *