Sudah beberapa kali saya membeli ponsel murah meriah. Yang terakhir pekan lalu, seharga kurang dari Rp 200.000. Anyar gres, terbundelkan bersama kartu perdana, saya beli bersama kacang dan wafer di sebuah minimarket.
Kesimpulan saya sama: buku manual ponsel murah cenderung apa adanya, semaunya. Tak ada gambar peraga. Tanpa info tentang spesifikasi. Isinya teks yang mengalir seperti novel dalam kemasan mini. Pembaca harus berimajinasi.
Lho, di internet kan semoga ada? Bukan itu masalahnya. Setiap produsen harus mengandaikan konsumen yang sedang membaca manual tidak sekaligus sedang berinternet.
Terhadap komentar “beli murah kok mau dapet manual genah”, saya tak sependapat. Bagi saya manual yang baik harus jelas dan memandu.
Murahnya harga bukanlah pembenar untuk semaunya. Lihat saja bungkus mi instan: harga murah tapi panduannya jelas, memakai piktogram.
Tapi nanti dulu. Jika menyangkut ponsel standar, yang sekarang menjadi barang biasa, apakah manual masih perlu?
Masih. Harus. Wajib. Bukan hanya karena diwajibkan oleh negara tetapi itu bukti itikad baik produsen. Pesawat radio dan setrika yang paling gampang digunakan pun menyertakan manual.
Memang, saya sering melompati manual, untuk menguji apakah sebuah produk itu secara intuitif mudah dioperasikan. Kenapa?
Saya memegang kredo ini: jika sebuah produk sulit dioperasikan maka yang bodoh adalah perancangnya (produsen), bukan konsumennya.
Mudah digunakan, ada manual komplet. Itu bagus. Wadah arsip semacam ManualsOnline.com takkan percuma menyimpannya.
Tapi arsip itu kan soal nanti. Soal sekarang adalah memahami manual. Rupanya produsen sadar bahwa konsumennya hidup dalam alam yang guyub, pasti akan menanya orang lain. Atau menanya melalui tanyasaja.detik.com :D