BLOG BUKAN UNTUK SEMUA ORANG.
Sebagian bloggers atau narablog boleh saja girang setiap mendengar “blog belum mati”. Toh selalu ada blog baru, kan? Blogging is alive and well… Lantas bloggers yang sudah bosan ngeblog juga boleh bilang, “Blogging is so yesterday, Pak!”
Memperkaya kehadiran
Baiklah, media sosial memang kian kaya. Presensi di mayapada, eh… mayantara pun kian beragam. Pernyataan diri tak cukup dengan kehadiran (kalau cuma punya web statis, ini era Geocities), konten terbarui (ya blog itu), tetapi dilengkapi dengan konversasi.
Ya, percakapan. Interaksi. Kita ingat, pada mulanya Blogspot pun tak menyediakan komentar sehingga para pengguna memanfaatkan layanan lain untuk ditempelkan, misalnya Haloscan. Mirip yang dilakukan oleh pengguna Tumblr dengan menempelkan Disqus.
Selain itu fungsi chitchat dulu sudah terwadahi oleh shoutbox, tagboard, dan sejenisnya, berupa kotak untuk bertukar pesan dari sekadar halo sampai menagih posting baru, pokoknya hal di luar topik setiap posting.
Blog baru dan blogger baru
Awal sampai medio 2000-an blog belum sebanyak sekarang (maaf tanpa data). Sebagian dari pemainnya adalah aktivis milis ini dan itu sehingga dalam waktu tak terlalu lama punya penggemar – minimal dikenal – dari kalangannya sendiri. Jejak sebuah blog di blog lain, begitupun pertukaran tautan, akhirnya menjadi sarana penyebaran kehadiran sebuah blog.
Persoalan sekarang bagi blog baru (termasuk blognya “pemain lama”) dan bloggers baru adalah promosi dan interaksi: bagaimana memberitahu dunia dan mengundang komentar – syukur kalau bisa tenar?
Jejaring sosial seperti Facebook memberi solusi. Notes akan mengimpor artikel. Pembaca lebih berkemungkinan membaca, tanpa melakukan blogwalking.
Hal sama berlaku untuk wadah penulisan komunal seperti Politikana dan Ngerumpi. Di sana lebih berpeluang mendapatkan perhatian dari teman sekandang karena pembaca tak perlu blogwalking. Maka pernah terjadi seorang anggota meng-copy-paste artikelnya di blog ke wadah komunal supaya mendapatkan tanggapan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Agregator komunitas dan RSS reader
Adapun penampung lain, misalnya agregator yang dimiliki oleh komunitas bloggers (termasuk yang berbasis wilayah), diharapkan membantu promosi dan komunikasi blog anggota. Minimal teman sekeranjang tahu, syukur berkomentar.
Itu tadi dari sisi si blogger. Adapun dari sisi khalayak, harus kita akui perubahan lainnya. Makin banyak orang membaca dari RSS reader. Tak perlu blogwalking.
Kelebihan reader, misalnya Feedly, adalah aspek sosialnya. Pembaca bisa bereaksi dengan menyebarkan artikel menarik ke Twitter dan Facebook. Sayang tempelan ini belum banyak dilakukan oleh agregator komunitas.
Tanpa tempelan social sharing maka yang paling mungkin hanya respon: langsung mendatangi blog tertentu dan berkomentar. Padahal ketika waktu online tak bertambah, reaksi pun mestinya mendapatkan tempat.
Zaman cepat berubah
Dulu kalau tak punya blog rasanya belum lengkap sebagai bukti kehadiran seorang netizen. Tanpa blog cuma dianggap pengguna pasif internet, tidak memproduksi konten.
Sekarang, tanpa alamat blog dalam isian halaman profil ini dan itu, rasanya kurang komplet. Meski sekadar pelengkap, blog yang lama hiatus pun tetap diperlukan supaya kotak isian tidak kosong.
Sekarang pilihan presensi kian beragam, termasuk microblogging seperti Twitter. Yang ini lebih cepat, mudah, apalagi dengan dukungan mobile. Malah ada yang bilang, “Di sini lebih ngeksis.” Bahwa ada yang mengeluhkan banyak noise, ya itu seperti seliweran dunia nyata: ngobrol ngalor-ngidul.
Maka jangan heran jika pengguna Facebook dan Twitter bertemu yang diobrolkan adalah apa yang barusan dan sedang terlontar. Apakah ini semacam Klompencapir 2.x? Nggak dong. :D
Blog tetap ada, tapi…
Facebook membuka simpul yang selama ini membelenggu sebagian orang dalam berekspresi: ternyata bercerita itu mudah. Padahal isinya bisa ringkas, karena lebih menyerupai kapsi foto. Jadi, bisa saja sama dengan blog.
Bedanya, dalam wadah jejaring sosial banyak orang tak merasa terbebani karena hanya bercerita kepada teman. Itu berbeda dari blog, yang “kurang jelas siapa pembacanya”, sehingga serasa dituntut menjadi seperti kolumnis.
Lantas ketika kebutuhan presensi dan interaksi memiliki banyak saluran, dengan karakteristik masing-masing saluran, blog model lama yang secara gagah-gagahan disebut “megablog” itu mau ke mana?
Blog tetap berjalan. Sebagai peluang, blog terbuka untuk semua orang. Tapi sebagai aktivitas itu memang bukan untuk semua orang, apapun alasannya (dari waktu sampai perangkat).
Tentu persoalannya bukan cuma beragamnya saluran di media sosial (termasuk blog), karena sejak dulu pun blog bukan untuk semua dan bukan untuk setiap orang. Maksud saya, bikin blog itu gampang, tetapi memelihara spirit ngeblog itu yang tak gampang.
Menulis itu butuh energi – apalagi bagi yang membaca. Tapi sudah kecapaian menulis tak ada yang menanggapi bisa membuat seorang blogger merasa kesepian dan sia-sia. Hanya yang mereka yang tak peduli mau ditanggapi atau tidak — dan niat utama ngeblog bukanlah mendapat pengakuan dan ketenaran plus teman — yang dapat terus bertahan dengan blognya dan rajin meng-update.
Itulah yang saya maksudkan dengan seleksi. Jangan lupakan salah satu sisi blog: menulis untuk diri sendiri. :D
Soal tren itu
Jadi apakah spirit ngeblog itu tren (sesaat)? Tidak.
Kalau cuma tren, tak ada blog baru, tak ada posting baru. Kalau blog cuma tren, RSS reader hanya berisi produk jurnalistik dari media terlembagakan. Tapi ya itu tadi, tak mungkin (dan tak perlu) kita berharap semua pengguna internet menjadi blogger.
Ujung-ujungnya adalah seleksi. Tak hanya bagi penulisnya tapi juga pembaca setianya. Nah, yang ini jarang diakui secara terbuka. :)