Online Shopping dan Kendala Psikologis

▒ Lama baca 1 menit

Bagi konsumen, inilah manfaat toko online selain untuk mempelajari produk dan membandingkan harga: mengatasi rasa malu. Lho kok bisa?

Lihat saja toko online lingerie yang terus bermunculan. Para pemilik toko lingerie pasti punya data, ada saja pria yang memesan produk –– minimal menjadi anggota dengan nama alias. Toko online telah membuktikan diri sebagai toko yang ramah karena tak membuat konsumen jengah.

Di Indonesia belum semua pria berani sendirian masuk ke toko jeroan wanita untuk membelikan hadiah. Dari toko lingerie yang terus bertambah di internet, termasuk di Facebook, konsumen bisa survei secara diam-diam tetapi sudah dan terus ke mana-mana.

Tak hanya pria yang malu. Sebagian wanita pun merasa jengah jika masuk ke toko lingerie, terutama yang dagangannya seksi banget, dan terlihat orang. Oh ya, jangankan di toko khusus, di counter pakaian dalam di toserba pun ada wanita yang risih jika ada lawan jenis yang beredar karena mengantarkan pasangan.

Jika bicara dagang, untuk produk apa saja, dari lampu sepeda sampai kue nastar, maka urusannya sebetulnya bukan hanya toko online. Forum, milis, dan blog pun bisa menjadi marketplace. Dan kita tahu, layanan blog semacam Multiply bisa menjadi pasar yang bagus. Bloggers hawa berbisnis di sana.

Yang menarik, baik toko online berkeranjang belanja (dengan WordPress pun bisa) maupun sekadar memajang kaos oblong di blog, sebagian besar tak mengintegrasikan layanannya dengan payment gateway yang mahal dan ribet. Nyatanya bisnis mereka jalan, kan?

ATM, online banking, dan mobile banking telah mempermudah urusan. Bukti transfer sudah cukup. Kalau penjual cedera janji maka dia akan dipermalukan oleh konsumennya melalui segala jalur di internet.

Perkembangan ini membantah pesimisme awal 2000-an ketika Lipposhop.com yang merupakan toserba besar online itu tutup. Tak sedikit yang berpendapat bahwa persoalannya bukan hanya belum meratanya akses internet (saat itu pengakses pribadi banyak yang menggunakan dial up) tetapi juga ‘kultur’. Maksudnya, orang Indonesia belum sempat dibiasakan dengan mail order tahu-tahu ada toko online.

Sekarang berbeda. Untuk dalam kota Jabodetabek, beberapa toko melayani cash on delivery – dari pesanan hardisk sampai komik.

Yang namanya bisnis itu, baik modern maupun tradisional, tetap mengandalkan satu hal: kepercayaan.

Adapun rasa malu, misalnya dalam kasus lingerie, bisa berubah seiring perjalanan waktu. Singapura pernah mengalaminya pada akhir 70-an sehingga menjadi santapan kantor berita. Kasusnya memang beda, dan saat itu belum ada internet. Di sana, bikini laku tapi tak pernah tampak di kolam renang. Lantas muncul pertanyaan, dipakai di mana belanjaan itu?

*) Dimuat di Kolom Paman Tyo detikinet, Senin 15 November 2010

Tinggalkan Balasan