↻ Lama baca 2 menit ↬

Karena kesal, pada suatu dini hari saya balas SMS tawaran kredit tanpa agunan dengan sopan, “Maaf, sesama agen dilarang saling memprospek.”

Tanpa diminta, SMS macam itu kerap mendatangi saya. Anda pasti juga pernah, bahkan sering, menerimanya. Isinya tawaran kredit tanpa agunan. Yah, namanya juga usaha.

Karena berupa upaya di tengah kompetisi, maka sopan santun boleh diabaikan. SMS dari orang-orang tak dikenal itu hampir semuanya tak menyapa nama penerima. Apalagi jika dikirim secara bulk via SMScaster.com.

Tapi mereka punya persamaan. Nomor untuk mengirim SMS dan nomor yang disertakan dalam SMS biasanya berbeda. Tak hanya berbeda angka tetapi juga berbeda operator.

Media baru selalu memancing kreativitas para pemasar. Ini seperti dulu, banyak tenaga pemasaran yang tak sadar melakukan spamming: mengirimkan email berisi promosi ke banyak alamat, termasuk kepada orang-orang yang belum dikenal.

Akhirnya etiket menjadi pemahaman bersama. Itulah yang namanya keseimbangan baru. Bagaimana dengan SMS? Nantinya juga begitu: para pengirim akan sadar karena malu –– atau dimarahi oleh pihak yang dikirimi. Oh ya bisa juga karena bosan, tak kunjung mendapatkan buruan, karena pesaing semakin banyak, mana lebih ulet dan kreatif pula.

Eh, tapi itu tadi kan SMS dari perorangan. Bagaimana dengan SMS, atau texting lainnya (misalnya pop screen), dari perusahaan tertentu (memakai short code bahkan nama dagang) dan terlebih operator telekomunikasi?

Untuk perusahaan, pengiriman SMS membabi buta jelas spamming. Untuk operator? Waduh, saya lupa apakah dalam dokumen pendaftaran pascabayar ada klausul bahwa saya bersedia dikirimi SMS apapun oleh operator. Begitu pun dalam amplop mungil kartu perdana prabayar, apakah ada klausul itu?

Misalkan ada klausul tadi, kita layak mengadu ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia. Kalau tidak?

Sejauh saya tahu sih belum ada produk hukum yang mengatur itu. Setahu saya UU ITE 2008 maupun revisinya belum secara khusus mengatur pengiriman pesan promosional dari operator terhadap pelanggan. Tolong dikoreksi jika saya salah.

Dalam kasus ini operator tidak boleh berkilah (misalnya), “Kalau belum diatur berarti boleh, karena kalau kami diam maka kompetitor akan merajalela.”

Dalam bisnis ada etika. Minimal etika sepihak yang dirumuskan sendiri. Saya berpengandaian, eksekutif perusahaan telko manapun tak suka menerima bombardir SMS.

*) Dimuat di detikinet, Senin 11 Oktober 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *