↻ Lama baca 2 menit ↬

Lima tahun silam belum ada BlackBerry, tetapi iklan ucapan Idul Fitri oleh agensi yang menangani Bank BNI sudah mencium gelagat mabuk gadget. Maka pada 31 Oktober 2005 saya memindahkan iklan itu ke dalam blog lama saya. Saat itu saya masih menyamar sebagai Kéré Kemplu. :)

Lihatlah, sang anak sungkem sambil menatap layar ponsel. Mungkin dia sedang membaca SMS. Sementara si ayah yang sedang disungkemi malah dikesankan menatap layar TV, dan tangannya memainkan remote controller. Adapun sang bunda asyik dengan media lama bernama majalah edisi cetak.

Masing-masing sibuk dengan media dan informasi pilihannya. Komikal, ironis, tapi membuat kita tersenyum getir lalu meringis.

Kini remote controller sebagai pemilih channel, dan majalah sebagai pengemas pesan, begitu pun ponsel model lama sebagai peranti texting (SMS), telah menyatu ke dalam smartphones, dari BlackBerry, iPhone, sampai ponsel baru Android. Setiap orang menggenggam dunianya sendiri saat bersilaturahmi.

Maka benarlah kata ungkapan yang bernada guyon itu: ponsel berinternet menjauhkan yang dekat sekaligus mendekatkan yang jauh. Begitu dekat, begitu nyata (untuk yang jauh); begitu jauh, begitu embuh (untuk yang dekat). Apa boleh buat. :)

Cobalah Anda ingat saat mudik kemarin. Begitu keluarga Anda tiba di rumah orangtua, maka yang harus segera didapatkan setelah bersalaman adalah colokan listrik untuk mengecas baterai ponsel.

Baterai menjadi dahaga dan lapar karena selama perjalanan harus memasok daya untuk ponsel yang terus dipakai untuk menelepon, ber-SMS, meng-update status di media sosial, mengirimkan foto, dan bercakap-cakap melalui berbagai layanan messenger.

Atas nama berbagi informasi maka setiap orang menjadi penerbit personal dan sibuk bercakap-cakap dengan orang jauh di luar rombongannya sendiri. Twitter riuh oleh kicauan tentang mudik. Begitu pun Facebook. Dan Foursquare tak sepi karena tempat singgah terlaporkan.

Selama perjalanan setiap anggota rombongan menunduk, kecuali pengemudi, tepekur dalam layar kecil yang menjadi jendela dunianya. Dunia di luar kaca mobil bisa diketahui setelah menanya penumpang sebelah, sebagai bahan updating: “Eh, sampai di mana nih kita?”

Kemudian dalam sebuah pertemuan besar antarkeluarga, mereka yang bete karena tak merasa sepenuhnya terlibat, sehingga merasa sejenak tersesat, segera menemukan dirinya dalam keriuhan tanpa suara: dunia gaul maul media sosial dalam handset. Hanya saat berpamitan atau dipamiti maka jeda sejenak pun terkuak.

Saya? Sedikit terlibat soal itu, tapi hanya melalui photoblogging secara mobile di antyo.posterous.com. Album Lebaran saya buat dengan cara yang searah, tanpa menanggapi komentar, tanpa chatting maupun updating status.

Itu soal pilihan. Maka ketika giliran istri saya menjadi sopir, pilihan saya adalah tidur, atau mengamati sekitar (sambil memotret dengan kamera saku), atau melamun. Hanya ketika terjebak dalam kemacetan panjang saya melakukan pelaporan via Posterous secara visual –– itu pun tak langsung bicara tentang kemacetan.

Saya ingin kembali ke dunia lama saya. Sekaligus melindungi privasi saya sedang apa dan di mana bersama siapa –– tanpa live report yang bisa bikin saya repot. :P

*) Dimuat di detikinet.com, Senin 20 September 2010

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *