Jujur saja, saya orang jorok, kemproh, slordig. Tapi saya mencintai negeri semprul bernama Indonesia ini. Maka kemarin, setelah mengganjal perut di parkiran, pas jam berbuka di area rehat Cibubur Square, Jakarta Timur, saya pun mencari tempat sampah. Mata lamur saya melihat silinder plastik oranye di kejauhan. Oh ada, pikir saya. Tapi ketika saya hampiri ternyata bagian dari instalasi air.
Akhirnya, tanpa alasan ideologis, dan tanpa mengatasnamakan semangat antikolonialisme, saya cemplungkan kantong plastik berisi bungkus makanan itu ke dalam kotak bekas wadah buah di samping pintu masuk Total Buah Segar, tempat saya tadi membeli perbekalan. Kotak itu adalah peti kayu. Bekas wadah jeruk impor dari Jaffa, Israel. Saya cemplungkan sampah tanpa mengucapkan “Hevenu shalom aleichem“. :D
Inilah negeri semprul yang kaya akan dagelan. Di mana-mana orang diminta menjaga kebersihan, tapi kotak sampahnya tak disediakan.
Padahal prinsip penyediaan kotak sampah itu sederhana, tak perlu sekolah tinggi, apalagi studi banding yang hasilnya dibanting. Begini lho…
- Letakkanlah kotak sampah di tempat yang mudah terlihat
- Ringan bagi langkah siapapun untuk menghampiri
- Letaknya tak mengganggu lalu lintas maupun pemandangan.
Kerepotan serupa beberapa kali saya alami di Mega Kuningan. Kompleksnya modern, mentereng, bersih, tapi membuat orang kerepotan mencari tempat sampah. Salah besar jika alasan untuk tidak menyediakan kotak sampah di tempat terbuka adalah karena pemobil lebih banyak dari pejalan kaki.
Jika menyangkut pejalan kaki, lihatlah trotoar SCBD di jalan masuk antara Bank Mandiri dan Polda Metro Jaya. Trotoarnya sempit, kurang leluasa untuk berpapasan. Lihat juga tangga dan lorong jembatan halte busway, terlalu sempit untuk berpapasan, padahal insinyurnya, atau asistennya, pasti pernah khatam prinsip matra ragawi manusia dalam Data Arsitek karya Ernst Neufert (dulu pernah diindonesiakan oleh Erlangga).
Tapi meskipun salah, prinsip itulah yang berlaku. Padahal pemobil juga perlu berjalan kaki. Maka saya tombahkan contoh trotoar di depan RS Medistra, Jalan Gatot Subroto. Ketika memperlebar jalan, para tuan perencana kota menunjukkan bukti bahwa sewaktu kuliah mereka lebih sering nongkrong di kantin, bukan perpustakaan.
Nah, kembali ke kotak sampah ya. Juga salah jika pejalan kaki yang butuh menyampah hanyalah perokok. Yang butuh kotak sampah itu juga orang yang ingin membuang sisa permen karet, orang yang ingin membuang tisu basah, kertas bedak, iPod, iPhone, iPad, BlackBerry, Olympus PEN2, sampai orang yang ingin membuang struk pembelian kondom dan pelumas bahkan ingin membuang surat peringatan terakhir dari bosnya. Pokoknya semua orang, begitulah.
Begitu sulit dan mahalkah penyediaan kotak sampah? Masa sih harus menunggu sponsor dari pabrik rokok atau bank? Kalau penyediaan kotak sampah oleh siapapun dimasukkan ke daam CSR, uh kok gampang banget.
*) Ilustrasi utama untuk posting ini cukup memuat dari tulisan lama tentang Solo. Reuse gambar karya sendiri itu juga bagus kan?