↻ Lama baca 3 menit ↬

SEBUAH SELINGAN KETIKA INTERNET KIAN CEPAT DAN MELELAHKAN

Anda jenuh dengan milis, blog, Facebook, dan Twitter, karena isinya terlalu banyak dan datangnya serentak? Cobalah bermain kartu pos. Lho, mundur dong? Biar. Buat selingan saja, anggaplah mencicipi masa lalu ketika menulisi kartu pos (dengan bolpen), menempelkan prangko, lalu  mengeposkan, belum menjadi beban.

Rasa lama, sensasi baru

Memang kartu pos beneran, bukan digital, itu menjadi urusan yang melelahkan. Membutuhkan waktu karena perjalanannya lama, sehingga ketika e-mail mulai dikenal abad lalu maka surat pos pun diledek sebagai snail mail, alias pos keong.

Tapi sekarang penggabungan snail mail (tanpa online tracking) dan layanan internet malah mengasyikkan. Ada sensasinya karena kita tak tahu kapankah kartu pos kita, yang terkirimkan kepada orang yang tak kita kenal, itu akan tiba. Layanan semacam postcrossing.com memberikan rasa itu. Selain itu kita juga menerima kartu pos dari orang yang belum kita kenal.

Bingung? Begini. Anda adalah A yang terdaftar sebagai anggota. Secara acak mesin PostCrossing akan memilihkan orang yang harus Anda kirimi, sebut saja si B, di Bulgaria. Nama dan alamat si B dikirim ke e-mail Anda. Nanti setelah si B menerima kartu pos Anda maka dia melaporkannya ke portal.

Tanpa Anda ketahui ada si C di Chad yang diminta oleh mesin untuk mengirimkan kartu pos kepada Anda. Maka pada suatu hari Anda akan menerima kartu dari Deressia, Tandjilé, Chad. Tak ada kewajiban membalas, karena Anda cukup berterima kasih di portal. Kira-kira begitu aturan mainnya. Silakan Anda pelajari sendiri. :)

Cobalah membuat sendiri

Lantas kartu pos macam apa yang saya siapkan? Kartu pos bikinan sendiri, dengan foto hasil jepretan sendiri. Bukan karena mau gagah-gagahan sih, tapi karena lebih personal dan murah.

Personal, karena kartu posnya tak dijual di toko — bahkan dicetak terbatas. Murah, karena biaya cetak digital A3 di atas art carton 310 gram (berisi lima kartupos,) adalah Rp 20.000. Berarti per kartu Rp 4.000, gambar dan teksnya sesuka Anda. Ongkos kirim ke seluruh dunia Rp 4.000, kalau ke Amerika Serikat Rp 5.000. Itu pos biasa, bukan kilat.

Adapun punggung kartu pos, bisa saja Anda biarkan polos. Saya sih menambahinya dengan mencetak sendiri sehingga rada mirip kartu pos beneran. :D Maksud saya supaya nggak menulis hal yang sama berulangkali, misalnya alamat.

Apa kelebihannya bikin sendiri? Untuk saya berarti mengirimkan gambar keseharian Indonesia yang tak ada dalam kartu pos di toko. Kalau gambarnya Candi Borobudur dan sawah berundak di Bali, banyak orang sudah melihatnya. Terlalu turistis. :D Maka saya memilih gambar seperti yang sering muncul di blog, misalnya di Oh! Blogombal dan Memo.

Saya sadar kualitas foto saya buruk, antara lain karena hasil jepretan kamera saku biasa dan kualitas cetak instan digital yang ajaib. Tak apa, bukan soal. Namanya juga bikinan sendiri. :P

Konten Indonesia di ranah digital oleh orang biasa

Saya juga sadar bahwa gambar yang saya kirimkan tidak cantik, tidak mentereng, jauh dari gemerlap kemakmuran urban, komposisinya pun tak enak (lihat Crocodile Bread, itu konsekuensi cropping kepala), tapi saya merasa inilah cara lain untuk menyatakan Indonesia. Seburuk apapun kondisi negeri ini (padahal nggak buruk-buruk amat), tetap ada semangat hidup. Ada humor di sana. Ada kegembiraan. Ada semangat. Semuanya dari sudut mata orang biasa yang sekaligus orang dalam. Jadi, ini bukan menjual “eksotisisme kekumuhan”. :P

Misalnya keterangan kartu pos tentang perangkai bunga yang ngelembur hingga pagi:

FLORIST AT WORK. In the middle of the night a florist in Jalan Ahmad Dahlan, Jakarta, is still decorating painted styrofoam greeting-board. Most of Indonesian business people greet each other with floral boards, so the party venues will be full of boards.

Memang sih kartu pos saya, berikut keterangan fotonya, menjadi seperti foto koran; agak berbau jurnalistik. Apa boleh buat. Saya memang mengirimkan informasi, bukan sekadar gambar tanpa kapsi yang masih harus ditafsir-tafsir seperti umumnya foto “seni”. Inilah sebagian sisi daily life kita yang saya akrabi, karena toh ada keseharian lain yang bukan menjadi bagian dari kehidupan rutin saya.

Bagaimana kalau bahasa Inggris kita salah? Pede dan cuek saja, kayak saya. Di Inggris dan Amerika pun banyak orang yang tidak dapat berbahasa Inggris dengan baik dan benar. Itulah sebabnya portal kebahasaan di negeri itu bisa bertahan; banyak orang yang ingin belajar. Ingat, nggak semua orang berbahasa ibu Inggris itu cakap berbahasa selayaknya editor The Economist dan Time — apalagi sepiawai profesor hukum di Universitas Yale. :D

Bermain “kartu pos silang” (post crossing, bukan kartu pos berantai),  menambah kesempatan  saya untuk  berkreasi, berkonten, dan merawat kewarasan karena punya saluran untuk bersenang-senang. Entahlah kalau suatu saat saya bosan. :D

Internet memberikan penyaluran untuk kreativitas Anda. Bukan hanya blog dan pembaruan status di Twitter maupun Facebook, tapi juga e-book dan kartu pos. Mari.

Percayalah, setiap orang itu (boleh merasa) kreatif.  Terlalu banyak “tapi…“, “padahal…“, “sebenernya sih…“, dan “maunya sih gitu…” tak akan menghasilkan, minimal untuk diri sendiri. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *