Pengakuan (Imajiner) Seorang Anggota DPR-RI

▒ Lama baca 2 menit

Bung,
Terus terang saja saya kesal sama foto di Kompas hari ini yang nampilin ruang sidang nggak penuh. Kenapa sih media dan masyarakat nggak bosen ngebahas itu, apa nggak ada yang lebih urgent?

Lantas sekarang orang pada ribut nyorotin rencana pembangunan gedung baru Rp 1,8 T. Dianggep mewahlah, kebangetanlah, nggak tahu dirilah, masa satu anggota nempatin 120 m2, empat kali yang sekarang (32 m2), lebih dikit dari ruang kerja dirjen yang 100 m2. Malah ada media yang mengada-ada, membandingkan DPR Jerman yang tetep pakai gedung lama dengan kami. Nggak kloplah. Reichstag kan cuma buat sidang paripurna.

Nah, daripada saya cuma dianggap membela diri makanya saya mau kasih penjelasan ringkas aja. Lagian saya sibuk. Jadi you harus maklumlah. Emang kita* ini pengangguran terhormat apa?

Tentang presensi dalam sidang

Absen dan absensi itu artinya nggak hadir dan ketidakhadiran. Lebih penting membahas presensi, kehadiran, supaya kita terbiasa berpikir positif. Percaya deh Bung, sudah menjadi niat dari hati terdalam kita  untuk ngikutin semua persidangan baik di komisi maupun paripurna.

Tapi Bung kan tahu agenda kita selaku  wakil rakyat (emang sih ada blogger kurang ajar yang selalu menyebut kita “wakil partai”) itu padat banget. Kalau semua rapat diikuti kapan saya bisa baca koran, ketemu konsitituen, golf (masih di driving range sih), diskusi dengan banyak kalangan, dan melihat dunia di luar Senayan? Yang bener aja.

Makanya kalo lagi rapat kita akhirnya juga nyalain BlackBerry dan akhirnya iPad supaya tetep connceted sama dunia luar. Ini sudah zamannya Bung! Hanya kantor basi yang melarang pengaktifan alat mobile selama rapat. Kita ini sangat progresif dalam adopsi teknologi.

Tentang uang, biaya, anggaran, dan lainnya

Halah, isu basi! Without duit we can’t do it. Jelas? Gaji kotor per orang di kita itu cuma Rp 65,4 juta per bulan. Mana cukup di Jakarta?

Bandingin dong sama gaji seorang GM (general manager, bukan GM yang “itu”, juga bukan Goenawan Mohamad) atau head pada perusahaan swasta yang sehat.  Padahal kita kan harus traktir orang, kasih sangu tamu dari daerah, nyumbang partai, urun alumni, banyak deh todongannya. Orang ngira kita ini ATM berjalan. Payah.

Soal uang saku ke luar negeri tunjangan lain, kayak asuransi Rp 48,6 juta setahun per orang padahal itu cuma premi tapi kalo orang-orang dengar nilai pertanggungan jadi marah, arghhh… males ngomonginnya. Basi! Emang kita pergi dinas harus pake ongkos sendiri? Gile loe! Eh maaf.

Demokrasi di lingkup internal

Intinya gini. Kita ini kan bareng-bareng, saya nggak mutusin semuanya sendiri. Gedung  DPR itu isinya bukan cuma anggota dewan saja, tapi ada juga teman-teman dari sekretariat jenderal, pokoknya anggota DPR boleh ganti tapi mereka kan belum tentu. Lagian untuk urusan anggaran dan lainnya kan ada BURT. Pendeknya, keputusan menyangkut duit itu bukan mainan perseorangan, Bung!

Nah saya selama ini ya ngikut aja, mana yang baik saya ikutin. Kita ini kan percaya demokrasi, apa yang jadi maunya mayoritas di lingkungan kita pasti lebih banyak maslahat daripada mudaratnya. Masa kita harus ngikutin orang luar di jalanan itu? Yang bener aja!

*) Semua kata “kita” dibaca sebagai “kami”. Maklumlah sang anggota dewan ini terlalu gaul, takut dianggap jadul, sehingga tidak mau membedakannya.

© Foto rancangan gedung DPR-RI tidak diketahui

Tinggalkan Balasan