Pemblokiran Situs: Kenapa?

▒ Lama baca 3 menit

Sebetulnya saya akan membuat daftar nama pengunjung setia blog ini, berikut tautan ke blog masing-masing, lalu menyebut mereka sebagai pengacau yang sedikit jenaka tapi selebihnya meresahkan. Tepatnya meresahkan saya, dengan mengatasnamakan khalayak ramai maupun sepi. Jika tidak ada bantahan berarti benar. Tapi jika masing-masing yang tersebut merasa daftar itu salah, ya silakan mengirim koreksi. Gampang kan?

Sayang sekali akal sehat dan nurani saya mencegah. Malah ada teriakan dari kibor komputer saya, “Memangnya sampeyan itu mantri? Mantri cacar aja nggak gitu!”

Spiker pun ikut-ikutan, kanan-kiri secara bersahutan, namanya juga stereo: “Jangan mau menangnya sendiri. Kamu itu siapa? Pejabat? Petinggi partai? Raja penjaga akhlak?”

Pembatasan itu perlu

Oh, tenang, tenang. Mari berpikir dengan dingin. Saya paham bahwa pengguna internet harus diajak dewasa dalam kegiatan online.

Dalam kegiatan online itu ada proses yang namanya melihat-mendengar, mengunduh langsung, menyimpan, menyebarkan ke kalangan terbatas, dan menyebarkan ke kalangan luas tanpa pandang batasan. Sebetulnya dengan melihat dan atau mendengar sebuah konten juga berlangsung pengunduhan, tapi itu kemauan si mesin.

Maka baiklah saya berterus terang saja, langsung ke pokok tujuan. Apakah konten dewasa harus dilarang dan diblokir agar tak dapat diakses oleh siapa pun dan kapan pun?

Jawaban saya: harus dibatasi.

Dalam hal apa boleh (bukan dianjurkan) dan dalam hal apa tidak boleh?

Prinsip umum: boleh diakses oleh siapa pun yang sudah dewasa. Wah ngawur, bukankah Ajaran Mulia manapun tak membenarkan itu?

Ya, tapi yang namanya beriman secara dewasa kan tidak berarti harus mengasingkan orang ke dunia steril? Itu sebabnya biarpun ditawari jenewer gratis, dan rokok gratis, ditambah lotere gratis tapi berhadiah, orang yang yakin dengan keyakinan dan jalan hidupnya akan menolak. Lagi pula, sudah menjadi tugas bahkan kewajiban lembaga pembimbing akhlak untuk melarang pengikutnya menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Ajaran. Serupa seruan dan perintah “Jangan korupsi! Bahkan misalnya uangnya disumbangkan ke sana-sini termasuk ke lembaga ini!”, begitulah.:D

Tentu pengecualian berlaku untuk narkotika. Biarpun sudah dewasa tak berarti setiap orang boleh mengonsumsinya karena efeknya sangat destruktif, tak hanya individual tapi juga sosial. Maka sebagai contoh, morfin hanya boleh digunakan atas rekomendasi dokter, dengan pemakaian yang terawasi.

Kontrol terhadap akses

Lalu setelah prinsip umum? Ya prinsip khusus. Tak ada kebebasan mutlak. Kebebasan bersama hanya terjaga jika kebebasan seseorang tak mengganggu apalagi menghalangi kebebasan orang lain.

Maka menyangkut konten dewasa di internet, lapis pembatasan setelah tahap individual adalah lembaga (keluarga juga lembaga) dan lingkungan, berdasarkan kepantasan dan akal sehat.

Kantor, misalnya, sangat berhak dan berwenang membatasi akses situs dewasa oleh karyawan agar sumber daya (koneksi dan bandwidth, plus setrum) dipakai secara efisien, efektif, dan produktif. Pengecualian berlaku untuk kantor pengelola situs dewasa. :D

Lembaga pendidikan? Mutlak. Kudu. Selain alasan sumber daya yang dibiayai oleh lembaga juga menyangkut norma dan nilai-nilai.

Untuk kedua jenis lembaga itu, usia dewasa bukan pembenar minta diberi keleluasaan akses. Kalau pengin ya silakan pakai akses pribadi — dan jangan di tempat kerja atau studi.

Untuk hotel terserah kebijakan pengelola. Untuk akses publik yang gratis, prinsipnya seperti pada lembaga pendidikan.

Lho akses kan menyangkut penyedia jasa internet? Betul. Tapi jika menyangkut pengunduhan dan penyimpanan, itu bukan tanggung jawab mereka. Kalaupun ada penyedia jasa internet yang ingin meniru hotel tertentu yang hanya membolehkan pasangan suami-istri menginap, itu hak mereka; karena kemauan sendiri, bukan karena dipaksa pemerintah. Kita harus menghormati kebijakan macam itu, tapi kalau tak suka juga boleh pindah penyedia jasa dan hotel.

Bagaimana dengan warnet? Biarkan asosiasi yang mengaturnya melalui, misalkan saja, sertifikasi. Warnet yang secara tegas membatasi akses terhadap konten dewasa boleh memasang stiker. Ada pula disklaimer yang menetapkan penjaga warnet boleh menyetop akses seorang pengguna dari jarak jauh (lima meter, sih) atau dengan menegur dan bila perlu tangan petugas langsung mematikan komputer. Semuanya harus jelas di awal.

Di sisi lain kalau ada warnet yang menghargai kebebasan dan menghormati kedewasaan, sehingga sampai membuat bilik privat segala, ya biar saja, tapi mereka harus menyatakan diri — misalkan melalui tanda tertentu di pintu. Bahwa orang yang keluar dari bilik akan malu, serasa keluar dari rumah bordil, ya itu risiko.

Meskipun begitu tak berarti bebas mutlak. Cara warnet model pertama harus diterapkan untuk pengguna di bawah umur di warnet model kedua. Ini serupa negeri lain yang menghormati kematangan warganya sehingga pengelola kolam renang tertentu, serta pengelola bar dan diskotek, boleh menolak bahkan mengusir pengunjung bawah umur. Ini seperti kasus di Amrik pada 2001: Jenna, putri Presiden Bush (saat itu) ditangkap polisi karena usianya masih 19 (di bawah 21) tetapi terbukti minum alkohol di klub Cheers, Austin, Texas.

Kontrol oleh lingkungan dan eduakasi

Tapi, tapi, tapi, tapi… masyarakat kita kan belum dewasa? Buktinya bokep DVD dijajakan di tepi jalan, pembeli tak diseleksi, padahal di negeri paling permisif pun tidak ada cara ngawur macam itu?

Ya. Betul sekali. Tapi masyarakat bisa diajak dewasa kalau mereka dilibatkan. Misalnya dengan memberi bekal pengingat bahwa untuk anak di bawah umur, orangtua di mana pun berhak bahkan dalam beberapa kasus wajib mengontrol anak-anaknya. Termasuk mengontrol ponselnya, tak hanya mengontrol pemakaian pulsa dan membelikan handset.

Tanpa melibatan kontrol lingkungan maka yang berlangsung adalah kucing-kucingan dalam pemanfaatan teknologi.

Nah, tak ada bebas yang bablas kan? Kita lihat negeri lain yang menghargai kematangan warganya: setiap konten child porn harus dilaporkankepada pihak berwenang. Siapa pun yang terlibat dalam penyediaan dan penyebaran akan diusut (pakai Interpol segala) lalu dihukum, karena itu menyangkut ancaman terhadap peradaban, sehingga tak dianggap sebagai pelanggaran privasi. Situs-situs dewasa pun terikat peraturan itu.

Tugas negara adalah menjamin kebebasan informasi, dan menjamin bahwa kebebasan suatu pihak tak merugikan pihak lain. Hukum, apapun bentuknya, dibangun dengan prinsip itu. Bukan membuat hukum dengan prinsip father knows best.

Internet literacy itu tak gampang, butuh waktu lama, tapi jangan tergoda untuk asal ad-hock; karena biasanya, dalam kasus lain, yang niatnya “sementara” akan dilanggengkan demi kewibawaan pembuat, bukan karena alasan fungsional.

Edukasi butuh waktu. Tapi hasilnya bagus: mendewasakan khalayak. Ada cara lain yang (mungkin) cepat sih dalam mengubah kesadaran. Misalnya cuci otak dan represi — tapi itu mengkhianati kemanusiaan kita.

© Hak cipta gambar tak diketahui

Tinggalkan Balasan