MEDIA SOSIAL, PRIVASI, DAN INTRUSI.
Hatta bercandalah Nukman Luthfie, “karena ‘Aku ngetweet maka aku ada’, maka eksistensi orang terlihat dari tweetnya.” Masih disusul, “‘Don’t Judge a Book by Its Cover’ tdk berlaku di ranah Twitter krn ‘I Tweet, Therefore I Am’.” Supaya paragraf ini tak terlalu sesak oleh tautan, lihatlah ini dan itu.
Juga terkicaukan olehnya, “social media mendorong kaburnya batas privat dan publik krn kita cenderung mengajak pubik ke ruang privat kita sendiri.”
Jangan memasuki halaman tetangga jauh
Nukman memang seorang yang tepat untuk berguru, khususnya tentang aspek sosial (dan bisnis) dalam penggunaan internet. Itu sebabnya awal tahun ini saya menjadikan dia bahan percobaan — istilah sopannya: contoh kasus — dalam dobosan saya tentang privasi di tengah media sosial.
Komentar Nukman di sana (nomor 17) sungguh bestari, dan kalau saya ringkas menjadi, “Itulah sebabnya kita nggak nimbrung komen foto Nukman bersama teman-teman SMA-nya, padahal bisa.” Ada rem di sana. Jangan memasuki dunia lain Nukman yang kita bukan bagian darinya. Simpel, kan?
Tentang pembukaan diri kita di media sosial — bukan di media sepihak seperti koran karena belum tentu dimuat — sudah jelas. Saya sepakat dengan sodokan Nukman: “Jika apapun kita tweet, teramasuk yg personal, masihkan Twitter disebut sbg ruang publik? lenyapkah ruang privat?”
Dalam sebuah acara komunitas blogger, di atas pentas Nukman pernah berujar kira-kira begini, “Saya memang narsis supaya eksis. Kalau saya nggak eksis gimana klien bisa percaya saya?”
Maksud Nukman mungkin bukan narsis(is) melainkan eksibisionis. Tapi bukan peristilahan yang saya garis bawahi di sini, melainkan kesadaran untuk membuka aspek personal atas pasal gaul dan bisnis.
Itu suatu hal yang wajar dan masuk akal karena jangkauan personal branding kian meluas (apalagi untuk pebisnis yang berbasis internet). Personal branding tidak lagi terbatas hanya pada artis (maksud saya seniman) dan pengacara yang pada zaman lama dibesarkan oleh media searah.
Intrusi terhadap privasi
Baiklah, kembali ke soal: apapun yang kita anggap privat tapi bagi orang lain itu bukan, sepanjang atas kemauan dia sendiri, maka itu bukan masalah. Persoalan selesai.
Tapi bagaimana dengan intrusi atau penyusupan terhadap privasi kita masing-masing oleh orang lain?
Di sinilah kita harus menimbang. Laporan seseorang, “Liat @pamantyo keluar dr panti pijat,” tentulah berbeda dari saya yang melaporkan diri, “Lega(h) tp lelah stlh selesai di panti pijat(h).” Pakaih imbuhan “h” supayah mendesah dan keliatanh gimanah gitulah. Hayah! :D
Intinya: kicauan orang lain belum tentu sesuai kepentingan saya, sedangkan kicauan saya sudah pasti pas dengan kepentingan saya. Celakanya tanggapan terhadap kicauan saya tetap saja di luar kendali saya. :D
Masalahnya bukanlah panti pijat tuna netra yang bertenagakan pria ataukah panti pijat mbok-mbok tua — atau di luar kedua itu. Panti pijat bisa diganti sekolah anak saya, bioskop, gereja, resto, bengkel, dan kebun binatang.
Begitupun misalnya kicauan seorang penagih utang, “pak @nukman: tlg @pamantyo diingetin sdh nunggak cicilan krt krdt 8 bl.”
Nukman pasti diam dan membayarkan, tapi bukan itu pokok masalahnya. Pemantau @nukman akan segera tahu mention itu. Tangkapan layar bisa segera dibuat — dan disebarkan. Di luar kemauannya, @nukman telah menjadi dinding pantul bagi @debtcollectorizeng. :)
Tentu jawaban terhadap kedua intrusi di atas bukanlah, “Makanya jangan ke panti pijat, dan kalau pakai kartu kredit sampai lupa daratan saldo.” Bukan, bukan itu.
Seterbuka-terbukanya seseorang, sehingga sampai berulangkali mengulang ayat “privacy is so yesterday“, pastilah akan tersengat bila wilayah privatnya disenggol, apalagi jika bernada negatif.
Euforia dan belajar
Apakah saya merisaukan sesuatu? Antara ya dan tidak. Terhadap diri sendiri saya merisaukan satu hal: kalau-kalau saya lupa diri sehingga menerabas pagar privat orang lain.
Atau jangan-jangan era media sosial ini melahirkan sejumlah konsekuensi, misalnya karena setiap orang berkemungkinan menjadi pesohor di lingkungannya maka setiap senti kehidupan pribadinya menjadi urusan publik?
Misalkan iya, bisa saja kita berkilah bahwa media sosial hanya meneruskan gunjing dalam kehidupan bermasyarakat prainternet. Sudah menjadi risiko setiap individu jika urusannya dicampuri.
Terhadap kilah itu saya punya catatan: jika menyangkut gunjing dalam dunia lama, maka sebagian besar isinya tidak terarsipkan dan tidak lekas berbiak. Teks yang termuat ke internet, termasuk ke wadah tertutup seperti milis, tetap bisa bocor bahkan terendus — atau dibiarkan terbaca — oleh mesin pencari yang merangkap pencatat.
Yang saya rasakan sih, dalam batas amatan saya, adalah euforia sehingga kadang ada kecenderungan mbleber.
Lantas bagaimana? Saya percaya kepada kemampuan manusia untuk belajar, termasuk belajar secara kolektif. Hanya saja ada yang belajar dengan tersandung dulu (saya pun begitu), dan ada yang belajar dengan mengantisipasi masalah.
Saya punya contoh menarik tentang seorang pemuda asal Wonogiri, yang menjadi penjaga warung wedangan, dan barusan mengenal Facebook maupun Twitter. Dengan ponsel sakti bikinan Cina yang ber-Wi-Fi itu dia bisa berkomunikasi dengan dunia luar yang jauh melebihi batas asap anglo dan uap ceretnya.
Kapan itu saya menanya, “Lé, kok kamu ndak nge-tweet tamu-tamu yang lagi nongkrong di sini to? Kamu kan kenal mereka semua?”
Jawabannya, “Ndak berani, Pak. Takut orangnya ndak suka, marah, atau gimana gitu.”
BONUS atawa The Song Remains the Same:
+ Kambing, Perjiranan, dan Media Sosial (Blogombal 22 Maret 2010)
+ Ngerasani Bos & Klien di Media Sosial (Kompasiana 23 Desember 2009)
+ Privasi Kita di tengah Jejaring Sosial (Ngerumpi 17 Desember 2009)