Majalah Cetak. Anda masih Butuh?

▒ Lama baca 2 menit

PERSOALANNYA APAKAH KONVERGENSI MEDIA AKAN MEMBUAT KITA LEBIH TERLAYANI.

Maka sebagai orang yang tak menerima kartu undangan, tetapi sudah terdaftar di komputer penyambut tetamu, datanglah saya ke pesta di bawah jembatan penghubung pada Grand Indonesia, Jakarta, yang diblokir tiga hari itu. Malam kemarin itu, 27 Juli, Kompas Gramedia (KG, alma mater saya), meluncurkan empat majalah berlisensi asing.

Majalah itu, Anda juga tahu, adalah Fortune dan InStyle (keduanya dari Time Inc.), serta Martha Stewart Living (Martha Stewart Living OmniMedia) dan More (Meredith Corp.).

Satu majalah bisnis dan tiga majalah gaya hidup. Maka CEO KG Agung Adiprasetyo ketika mengantarkan peluncuran berpidato ringkas yang isinya kira-kira adalah marilah berbisnis, cari uang, bersenang-senang, muda kaya raya, tua masuk surga. Sebuah gurauan yang pas. Let’s the party begins. Free flow drinks…

Peluncuran majalah di tengah sihir internet? Di sini saya tak mengutip data manapun soal bisnis media cetak. Lebih menarik bagi saya untuk bertanya apakah Anda masih butuh majalah?

Saya katakan butuh dalam arti barangnya harus ada dalam genggaman Anda, untuk Anda baca, dan tersedia untuk Anda secara berkesinambungan. Lebih penting lagi: Anda bersedia mengeluarkan uang.

Saya pernah ditanya beberapa orang apakah bloggers Indonesia membaca koran dan majalah edisi cetak saban hari?

Pertanyaan sulit karena saya belum pernah membuat survei. Juga sebatas saya tahu belum ada data seputar itu. Lebih utama lagi: bloggers yang mana?

Jangan menganggap penanya mengada-ada. Mereka berpengandaian, para bloggers sebagai penghasil konten pastilah butuh asupan informasi, tak hanya yang online melainkan juga yang tercetak.

Tidak, tidak, jangan ge-er dulu. Mereka tak berencana membuat majalah untuk bloggers. Mereka pun tidak menganggap bloggers sebagai kumpulan orang istimewa. Apalagi jika menyangkut pengguna internet, yang di dalamnnya ada sejumlah orang yang aktif di jejaring sosial dan mikroblog, maka bloggers pada hari ini hanya sebuah irisan.

Jadi, saya kembali kepada pertanyaan apakah Anda masih membutuhkan majalah?

Kita lihat majalah gratis ada yang bertahan ada yang mati. Yang gratis pun tak menjangkau semua orang karena distribusinya memakai beberapa titik penempatan, terutama resto dan kafe, yang tentu juga tak kerap disambangi semua orang karena pasal kepentingan dan biaya.

Bagaimana dengan majalah yang dijual? Ini menyangkut niat. Jika menyangkut pembelian secara eceran, bukan pelangganan, maka untuk mendapatkannya butuh tenaga karena harus mendatangi lapak dan toko, kemudian membelinya. Dalam kasus Anda, tentu Anda sendiri yang dapat menjelaskan.

Perihal majalah bermerek lokal atau asing, bagi saya bukan isu. Persoalannya tetap konten: cocok atau tidak dengan kepentingan pembaca. Juga, cocok atau tidak bagi pengiklan.

Maka terhadap sinisme seorang kawan yang menyebut pembeli majalah gaya hidup dan fashion wanita itu tertipu, hanya membeli katalog produk, saya tak bersepakat. Bagi saya iklan juga konten yang punya fungsi informatif.

Tentang konten yang sesuai dengan harapan pembaca, formulasinya ada di ranah psikologis. Proksimitas tak semata-mata geografis. Itu sebabnya majalah untuk cewek remaja jarang memuat gosip seleb lokal. Bukan karena TV sudah menghajarnya, tetapi karena pembaca menganggap sebagian kabar tentang seleb lokal itu cemen, tak semenarik Glee, Stepahnie Pratt, dan Katty Perry. Meskipun sudah ada di internet tetap saja menarik.

Tentang proksimitas yang mempertemukan aspek geografis dan mental, sehingga bisa disebut sebagai konten lokal (termasuk dari majalah bermerek asing), justru di situ tantangannya. Bagaimanapun pembaca, yang bukan pebisnis tapi sekadar pegawai swasta, ingin tahu apa langkah ReCapital. Adapun info luar, dari pemain yang terdaftar di NYSE, hanya menarik jika punya dampak ke bisnis di Indonesia.

Tapi ketika yang dibutuhkan oleh pasar lokal sudah tersaji oleh majalah cetak, masihkah Anda mau membelinya, bahkan misalnya untuk sekadar melengkapi pengetahuan umum dan bekal obrolan?

Tentu penerbit majalah tak hanya menjual kertas tercetak yang terjilid. Konvergensi media kian menarik karena saya yakin kanal semakin kaya, dan yang namanya organisasi pemberitaan itu dalam banyak hal tak dapat disaingi oleh penerbitan personal. Organisasi memiliki standar kerja kolektif, bank data, dan akses ke sumber penting — termasuk untuk memotretnya dengan hasil bagus — untuk menghasilkan konten.

Maka bisa dimaklumi jika tempo hari Rupert Murdoch marah, menganggap agregator sebagai pencuri, karena mereka meraup konten tanpa menggaji reporter dan editor.

“Tapi,” tadi malam seorang kawan mengirim BBM, “harga majalah tambah mahal aja.” Aha! :D

Tinggalkan Balasan