Masuk Pukul Tujuh Pagi Lagi

▒ Lama baca 3 menit

Tahun ajaran ini beberapa sekolah kembali ke asal: masuk pukul 07.00 pagi. Apakah kemacetan bertambah atau berkurang? Tanyakan kepada ahlinya. Pernah sih ada evaluasi setelah dua hari pemberlakuan jam masuk pukul 06.30 itu: kemacetan berkurang 14 persen. :D

Kerepotan

Yang terjadi selama jam masuk pukul 06.30 itu adalah bertambahnya kerepotan domestik keluarga siswa. Setidaknya kegiatan di kamar mandi dan dapur menjadi lebih awal.

Selain keluarga siswa, yang repot tentu saja guru dan… penjaja makanan di sekolah. Mereka harus berangkat lebih awal. Untuk penjaja makanan — tak hanya pemilik kantin tetapi juga penggelar lapak kudapan di luar sekolah — berarti mempersiapkan banyak hal sejak awal.

Intinya: maju setengah jam belum tentu semua persiapan juga hanya maju setengah jam. Jika pada pukul 05.30 ojek cukup tersedia, maka pukul 05.00 belum tentu. Tapi hal begituan pasti sudah diperhitungkan oleh sang ahli.

Anehnya, sejauh saya cari, belum ada kabar tentang evaluasi menyeluruh terhadap pemajuan jam masuk itu. Dan pada tahun ajaran sebelumnya saya tahu ada sekolah yang tetap masuk pukul 07.00 padahal berada di kawasan korban kebijakan.

Ah sudahlah. Masalahnya bukan pada jam masuk saja kok. Lagi-lagi urusan utamanya adalah sistem jaringan transportasi kota yang bersih, aman, andal, jumlahnya memadai, melayani semua wilayah, dan murah. Bus sekolah? Bagus sih tapi belum memadai.

Maka kemarin siang, di depan sebuah sekolah di Jakarta Pusat, tiga dari empat lajur terisi mobil berhenti. Mobil-mobil penjemput (lihat foto).

Kalau dibilang parkir, para pengemudi maupun satpamwan mungkin tak terima. Cuma berhenti, bukan parkir, karena halaman sekolah mengalami kongesti.

Apapun kilahnya, parkir atau terhenti, hasilnya sama: kemacetan karena jalan hanya tersisa satu lajur.

Antre itu ngeselin

Soal kongesti ini tidak lucu dan tidak aneh tapi salah satu pangkal soal bisa ditebak. Apa? Disiplin.

Kalau ada belokan ke kanan atau putaran U, maka sebagian pengguna jalan ogah mengantre di lajur terkanan. Nyodok is the best.

Hal sama berlaku di jalan tol. Lajur terkanan bisa melambat bukan hanya karena pengemudi bebal yang santai merambat tetapi juga karena mobil-mobil yang tak mau antre di lajur terkiri menjelang pintu keluar. Setelah dekat baru berpindah jalur secara bertahap.

Konon itulah kiat smart atas nama urban survival. Nah, yang terjadi pada foto tadi ya karena kiat smart itu. Apa boleh bikin.

Selain itu, jika menyangkut antar-jemput anak sekolah maka kita juga sadar ada persoalan di embarkasi dan disembarkasi. Anak sekolah, dengan bawaan yang tak cukup seransel tipis, itu berbeda dari serdadu yang diangkut truk (bukan bus). Serdadu dilatih lompat naik dan turun kendaraan dengan bergegas.

Anak sekolah? Misalkan mereka tertib, tetap saja proses naik-turun butuh waktu. Tiga puluh detik sudah cepat, tapi tetap menimbulkan antrean.

Apalagi kalau ditambah anak-anaknya santai. Jemputan sudah datang mereka masih di kantin atau ngobrol atau nyepi sambil memainkan peranti komunikasinya. Lebih celaka lagi: jam bubaran kelas tak serentak.

Pusing dan mbulet

Memang bisa saja ada yang beragumentasi, kalau semua tertib di lajurnya maka hasilnya adalah antrean mengular. Padahal yang namanya si ular itu juga menutupi persimpangan dan akses masuk ke gedung tertentu. Hasilnya tetap saja kemacetan. Karena sama-sama menghasilkan kemacetan ya mendingan saling serobot saja.

Orang Jawa bilang ini mbulet. Tertib mengantre bikin macet, ndak ngantre juga macet. Mirip buah simalakama (Dilemma simalakamiae) yang belum diimpor, apalagi dijajakan di pasar swalayan, karena belum lolos karantina Departemen Pertanian. Pendek kata bikin masalah.

Bisa saja ada beberapa orang yang tetap berpekerti dengan alasan untuk mendidik anak, supaya anaknya sejak kecil tak terbiasa melihat orangtuanya berlalu lintas secara ngawur. Itu mulia — dalam arti layak dibahas, bahkan dipuji, tapi tak usah ditiru. Anggap saja semacam etalase yang isinya tak harus kita beli.

Itu senada dengan pendapat, “Rugi kalau kita bener tapi orang lain ngawur”; seperti anak manis dan rajin ditindas oleh anak nakal dan malas.”

Sebagian dari kaum ini punya kilah hebat, “Kalau sampeyan itu tinggal di Singapura atau Jerman ya harus. Tapi ini Indonesia, kita kudu realistis.”

Mungkin inilah yang disebut bijak sekaligus taktis: masuk kandang harimau mengaum, masuk kandang kambing mengembik, dan masuk kandang zebra cari cat buat menggarisi badan.

Betul saudara-saudara, mirip praktik korupsi: kalo yang lain nyontek, rugi amat kita yang belajar malah dapat nilai buruk.

Jangan-jangan inilah syarat memajukan bangsa melalui seleksi kecerdasan sosial. Di mana kaki berpijak, di situlah harus kita cari tangga (berikut orang lain yang bisa diperdayai untuk memegang tangga) untuk menjunjung langit.

Daripada pusing ya lupain aja

Kalau Anda pusing dengan segala karut marut bangsa yang tecermin di jalanan, maka itu wajar. Anda orang biasa.

Kalau yang pusing adalah para tuan cerdik cendekia nan bijak bestari karena terkabar masih titisan dewa, maka itu aneh.

Supaya tidak aneh, maka solusinya adalah jangan ikut pusing. Misalnya dengan melupakan segala masalah transportasi. Atau dalam ungkapan Adinoto, transportasi publik adalah sarana pengangkutan yang diupayakan sendiri oleh publik — misalnya sepeda motor.

Karena sistem transportasi hanyalah bagian dari tata wilayah, maka permukiman baru boleh tumbuh semaunya dengan iklan yang menunjukkan derajat kemakmuran bangsa: sekian menit dari jalan tol.

Bahwa negeri lain yang makmur, pun industri otomotifnya maju, malah menjual kehebatan sistem transportasi publik, ah itu belagu aja.

Mereka itu curang, karena sudah sejahtera maka bisa berpikir kayak gitu. Kira-kira begitulah cara berpikir para tuan titisan dewa tadi.

Sebaiknya kita maklumi saja, karena rasio kendaraan kota yang (katakanlah) 70 persen untuk umum (bus, kereta) dan 30 persen kendaraan pribadi hanya cocok untuk masyarakat sudah tak menganggap mobil sebagai impian.

Maka masih dalam rangka tak mau pusing, yang penting ada busway. Bahwa busnya terbatas, bahkan ada yang belum dilalui bus (sehingga halte rusak nganggur), itu sudah merupakan komitmen. Jangan riwil.

Jadi harap dimaklumi saja kalau mulai 2 Agustus busway akan disterilkan, dan nantinya jumlah motor pada jam sibuk akan dibatasi di daerah tertentu. Orang pintar lebih tahu prioritas penanganan masalah — dalam arti sangat tahu bahwa soal mendasar sebaiknya dilupakan dulu.

Saya imbau Anda jangan gusar. Pemerintah, pusat maupun daerah, selalu berniat mulia. Janganlah, misalnya, meledek “3-in-1” sebagai hal yang hanya menghasilkan joki. Mana ada orang menumpang malah dibayar kalau bukan di Jakarta.

Nota:
Kabar terakhir, sejak awal Juli Mayasari Patas 9 berhenti beroperasi. Saya tahunya Ahad kemarin. Bus ini melayani trayek Pinangranti – Pramuka – Salemba – Senen – Gambir – Pasar Baru. Pinangranti – Pramuka via jalan tol.

Tinggalkan Balasan