SETELAH NGEBLOG AKANKAH ANDA MENGUNGGAHKAN BUKU DIGITAL?
Bermula dari melihat Evolitera, semacam jawaban Indonesia untuk layanan penerbitan personal Issuu dan Scribd, saya pun berniat menyumbangkan karya. Halah karya, kemaki banget? Memang. Itu pun berbau kecelakaan. Lho,kok?
Begini ceritanya. Niat menyumbang itu bersamaan dengan saya menggarap tata letak sebuah panduan, yang celakanya macet terus aplikasinya, bahkan komputernya pun ngadat. Apa sebabnya saya tidak tahu. Niat saya, begitu pekerjaan itu rampung, segera membuat sesuatu untuk Evolitera. Membuat semacam e-book, yang menyertakan rasa kertas ketika dibaca melalui aplikasi web (seolah-olah memang buku terjilid), tapi hanya menjadi PDF biasa jika dibaca dengan aplikasi pembaca PDF.
Dengan restart berkali-kali, saya garap pula sebuah dummy dengan blind text berisi “lorem ipsum”, dan hurufnya menggunakan Times New Roman serta Arial agar setelah jadi PDF biasa dapat dibaca oleh semua komputer dan sistem operasi. Mau diisi apa belum tahu. Eh, ternyata malah lancar.
Maka jadilah buku-bukuan, tepatnya buklet-bukletan yang ukurannya kegedean karena semajalah (dengan tata letak memajalah pula), yang saya juduli Saya dan Blog: Sepaket Pengakuan Gombal — yang setelah jadi saya unggahkan ke Evolitera dan kemudian Issuu yang lebih responsif. Lantas isinya mengalir saja, saya buat di Notes, dengan merujuk kuota karakter.
Mungkin rada aneh, desain dulu baru teks beneran. Sebetulnya tidak. Ini hal biasa di media cetak — begitu pun dalam penggarapan iklan (untuk) cetak. Baiklah saya bercerita melenceng dulu. Pada era pra-desktop publishing, editor koran menyimpan contoh font untuk headlines berikut jumlah maksimal karakternya. Contoh itu biasanya disimpan di bawah kaca meja.
Pada zaman itu, reporter mengetikkan laporan pada sebuah kertas buram (“kertas pastor”, bukan “kertas doorslag“) yang sudah disertai garis pedoman konversi, misalnya sekian baris tik-tikan dua spasi akan setara satu kolom cetak setinggi 5 cm. Kompas dan Tempo mengalami masa-masa itu.
Pada masa itu pula cut-and-paste dalam penyuntingan berlangsung manual: paragraf dipotong dan dipertukarkan dengan bantuan gunting dan lem. :D Setelah di-fiat, atau disetujui (di-acc, di-approve), naskah compang-camping itu diserahkan kepada setter, penata huruf, yang di kemudian hari tak perlu memilih dan menancapkan huruf-huruf timah ke matris cetak karena komputer menggantikannya. Para setter ini hapal kode-kode koreksi, berupa coretan pada kertas, suatu hal yang juga dipahami oleh para sekretaris pada masa itu (salah satu buku panduan bagi calon sekretaris, terbitan PPM Jakarta, 1985, memuat tabel simbol koreksi).
Semua media cetak Indonesia yang berumur lebih dari 35 tahun mengalami masa-masa merepotkan itu. Mungkin hanya editor puisi di Horison yang tak terlalu pusing, karena bisa main kira-kira, lantas urusan selanjutnya diserahkan ke setter dan penata letak, orang-orang paste up itu. Apalagi jika puisinya aneh, karena tik-tikan membentuk gambar, atau setidaknya berupa paragraf panjang yang bukan “satu baris satu enter“. Ruang kosong tinggal diganjal dengan vignette.
Lantas apa urusan masa lalu — yang kata orang sekarang “gak penting, gue blom lair” (sebuah cara mengindari bahasan sejarah) — itu dengan e-book dan naskah digital?
Singkat saja. Komputer bisa membantu kita menjadi penerbit personal. Semua tahap produksi sudah diringkas, sehingga laptop pun dapat mengerjakannya. Urusan berikutnya adalah kreativitas. Soal mutu, itu urusan pembaca karena merekalah yang mengadili.
Salah satu alasan pembaca berhak mengadili, meskipun e-book-nya dibikin gratis, adalah karena mereka membayarnya dengan waktu, bandwidth, dan setrum.
Cobalah Anda manfaatkan masa transisi dengan memasukkan rasa kertas ke dalam web.