Tarzan Talok di Pinggir Kali

▒ Lama baca 2 menit

MESTINYA BUAH POHON PENEDUH ITU YANG DIDOYANI MANUSIA.

Beberapa hari belakangan, setiap berangkat meninggalkan rumah, saya melihat ada saja anak yang memanjat, atau bergelantungan seperti Tarzan, di pohon talok atau kersen di pinggir kali dekat rumah. Tak ada yang tercebur maupun menceburkan diri ke kanal yang disebut kali karena airnya dangkal itu. Mungkin karena sekarang masih libur sekolah. Yang pasti saya tak memotretnya karena tak ada waktu untuk memutar dan menunggui.

Saya kurang ingat kapan kersen itu ditanam untuk penghijauan. Tapi tujuh belas tahun silam, ketika saya mulai tinggal di sana, tak banyak pohon. Tanggul pun tak bertaman.

Sekarang bantaran kali lebih tertata. Maka saya berpikir penghijauan yang baik mestinya bukan hanya dengan pepohonan yang buahnya disukai burung dan bunganya disukai serangga, tetapi juga yang buahnya disukai anak-anak. Misalnya ya kersen itu.

Saya berpengandaian, kalau anak-anak doyan maka warga akan lebih bersedia merawatnya. Hanya pengandaian. Benar tidaknya saya tidak tahu.

Jika menyangkut manfaat, saya ingat pelataran parkir di bekas kantor saya. Mulanya pelataran itu hanya berisi hamparan konblok. Lalu ada penanaman, antara lain kersen. Hasilnya adalah kicauan burung, misalnya kedasih. Tapi sejauh saya tahu tak ada karyawan yang jadi Tarzan, padahal peraturan perusahaan tak melarangnya. Entahlah kalau ada yang berperan sebagai Jane kemudian bermesraan ala rimba. Peraturan kumpeni melarangnya.

Meskipun begitu ada juga yang memanfaatkan penghijauan tanpa menjadi Tarzan. Saya yakin tak semua karyawan yang rutin memarkir mobil (saat itu) tahu bahwa di sela-sela pepohonan ada tanaman cabai. Selalu berbuah. Pemetiknya ya satpamwan. Untuk melengkapi tahu goreng pagi dan sore hari. Mungkin cabai kebun sendiri itu hanya digigit separo.

Saya tahu itu karena termasuk orang yang datang pagi, sebelum  petugas kebersihan datang, sehingga punya waktu untuk mengelilingi area gedung, bahkan “bercakap-cakap” (secara kebatinan, hanya dibatin) dengan ikan di kolam — jangan-jangan ada yang mengira saya depresi berat.

Soal depresi itu tak penting. Kembali ke topik: tanaman yang bermanfaat. Dulu tahun 80-an ada kompleks perumahan di Yogya yang membagikan bibit mangga kepada pembeli rumah. Entah mangga apa. Kata teman saya yang bermukim di sana, setiap musim mangga warga pun panen.

Di Jakarta juga ada permukiman eksklusif yang memiliki taman mirip kebun. Pohon-pohon lama eks-kampung, sebelum tergusur, tetap dirawat. Misalnya pohon cempedak dan rambutan. Pemanennya ya satpamwan.

Pohon buah “untuk umum”.  Itulah yang menarik. Saya ingat, waktu kecil, di Salatiga, sering mendapatkan hasil panjatan teman dari lahan nganggur, misalnya buni dan duwet. Saya juga ingat, waktu SD sempat memunguti buah kenari dan asam yang jatuh dari peneduh. Ketika masih SMP, saya sering melihat anak-anak kecil nangkring di atas pohon sawo kecil yang menjadi peneduh jalan dekat Balai Kota.

Saya tak tahu apakah pohon dengan buah yang disukai manusia menjadi pertimbangan dalam penghijauan jalan. Maksud saya pohon yang batangnya kuat. Menurut Anda?

© Ilustrasi: Wikipedia Indonesia

Tinggalkan Balasan