HIBURAN NASIONAL ITU BERTEMA PEMBELOKAN MASALAH. NIKMATILAH.
Jika Anda, karena sial, akan ditangkap bahkan pasti akan diseret ke meja hijau karena memutarkan lalu melarikan (atau sebaliknya) uang koperasi, maka berdebatlah dengan penyidik. Bilang saja bahwa Jaksa Agung tak memiliki keabsahan dalam jabatannya, sehingga anak buahnya pun tak layak menuntut Anda. Yang penting ngeyel.
Intinya, meskipun Anda bukan profesor ilmu hukum, bertahanlah. Soal administrasi jabatan dan kepegawaian Anda kedepankan atas nama hukum. Atas nama logika. Bukan atas nama keadilan, apalagi kepantasan. Dianggap mencari-cari celah ya biar, yang penting kelihatan ilmiah, sekalian Anda sesumbar, misalkan saja, “Ini soal edukasi agar administrasi jabatan tinggi dibenerin.” Keren, lho. Mulia, gitu.
Apakah argumentasi Anda bisa diterima, apalagi di daerah yang jauh dari Jakarta, padahal Anda bukan siapa-siapa?
Saya tak bisa dan tak berani menjamin. Paling-paling Anda akan dihardik, “Halah, situ tahu apa? Jangan mengalihkan persoalan! Ngerti? Ayo sekarang jawab. Mulai…”
Mengalihkan persoalan. Ini penting. Karena ini seni semua orang. Anak kecil disuruh belajar dan bikin PR malah menolak, dengan alasan acara TV-nya menarik. Mirip peribahasa, “Awak tak pandai menari, dikatakan DJ-nya nggak ngerti beat.” Petinggi korps dikabarkan bertambun tabungan pribadi jauh melebihi kewajaran gaji, maka yang dipersoalkan adalah mengapa sampul majalah bergambar celeng. Itu menghina.
Pokoknya jangan sampai khalayak terhunjam ke pokok persoalan. Dalam kasus mempertanyakan Jaksa Agung adalah jangan sampai makin kentara sebagai tersangka. Malu dong kalau ahli hukum tersandung soal pidana korupsi. Kalau saya sih malah bangga misalkan bisa korupsi gede-gedean. Bisa mentraktir banyak orang.
Dalam kasus celengan, jangan sampai keluarga anak buah membahas rekening jenderal dengan penuh dengki dan gerutuan. Bahwa pemberian di luar gaji bisa dianggap sebagai gratifikasi, dengan alasan tak ada dalam peraturan, maka itu soal kepintaran berkilah. Yang tak dilarang tegas berarti dibolehkan, bahkan bisa dibaca sebagai “dianjurkan”. Bahwa itu bisa berimplikasi pada lemahnya penegakan hukum, ah pasti itu pendapat orang sirik bin naif yang merasa setoran pajaknya sudah cukup menghidupi kebutuhan layak polisiwan.
Ada lagi? Sayang saya kurang telaten dalam mengoleksi keanehan. Maka tautan ke sana-sini pun saya kurangi dalam tulisan ini. Kalau saya, dan juga Anda, terlalu telaten mencatat keanehan, bisa-bisa kita dianggap aneh. Apalagi jika opini kita berbeda dari arus massa.
Yang terbaru, tapi tetap basi, adalah kunjungan wakil partai (yang mengaku wakil rakyat) ke luar negeri, atas nama lawatan studi banding. Dengan ongkos oleh negara. Senilai Rp 2,9 miliar.
Kalau dari masa ke masa studi banding tak memberi hasil, maka namanya jadi studi banting. Map laporan dan notulen, atau cuma katalog yang ada versi online-nya, cukup dibanting sesampainya di Senayan. Setelah itu dilupakan. Kesimpulannya bisa saja, “Ternyata kita telah melakukan apa yang negara lain lakukan.”
Apakah kita harus menyumpah sampai semua kosakata terkuras? Terserah. Menurut ahli kesehatan jiwa, kalau kekesalan tak ditumpahkan maka bisa meledak di dalam lalu mengganggu keseimbangan jiwa — orang bilang: sakit jiwa. Kata dukun, energi negatif itu akan menghasilkan sakit maag dan bahkan stroke.
Persoalan pokok itu seringkali berat, bahkan menyakitkan. Maka paling bagus adalah mencari pengalihan. Maaf mungkin ini basi, maka dalam kasus video Ariel* dan lainnya, maka yang penting adalah memidanakan yang bersangkutan. Atas nama hukum, moral, dan keadilan. Lantas semua orang merasa telah menegakkan akhlak.
Di negeri lain yang permisif dan tidak munafik, skandal seks pesohor selalu ada. Sepanjang tak ada pemaksaan, apalagi penipuan, dan sama-sama dilakukan oleh orang dewasa, maka yang pelaku yang terfoto atau tervideokan sudah menuai sanksi sosial. Tak usah dijadikan penjahat apalagi penjahat kelamin. Kita bisa memaafkan (bahkan melupakan kesalahan) megakoruptor dan penjahat HAM, kenapa yang ini tidak?
Perkembangan terakhir yang saya ikuti sepintas, sejumlah ahli akhlak akan dipersilakan menonton video itu untuk menilai. Dari sisi akal tampaknya benar: penilaian hanya muncul kalau sudah menyaksikan. Tapi dalam kasus ini, mestinya kita bisa merasakan sebuah arah yang mulai membingungkan, dengan memindahkan kontroversi buah simalakama (kalau tak menonton dianggap naif dalam beropini, kalau menonton dianggap keterlaluan) ke lapangan yang lain lagi, padahal esensi jadi terabaikan.
Apa esensinya? Ketersiaran dokumentasi pribadi yang erotis, apalagi jika menyangkut pesohor, itu sudah menghukum yang bersangkutan, apalagi jika jalur rezekinya terpangkas. Hak yang bersangkutan untuk membantah maupun tak berkomentar. Jika yang mereka lakukan adalah kejahatan luar biasa tak berampun — seperti halnya korupsi, terorisme, dan pembersihan etnis — maka penjarakanlah ribuan orang lainnya.
* Bertahun-tahun cara mengeja saya salah: ari-yèl. Sama seperti saya mengeja pesohor bernama Daniel: da-ni-èl :) Akibat buta TV?