↻ Lama baca 2 menit ↬

SARAH, PONIRAH, DAN “PEKERJAAN MANUSIAWI”.

Jubing Kristanto, gitaris asal Semarang yang kriminolog dan bekas redaktur pelaksana Nova itu, berjasa karena dia tak hanya menghibur. Dia memperkenalkan ulang lagu lama karya Ibu Sud, Hai Becak,  dalam album Becak Fantasy. Jubing mengingatkan bahwa  becak masih ada. Ya, becak yang berasal dari bahasa Hokkien: be-chia. Nun di Köln, Jerman, saya teringat becak Indonesia. Di sana juga ada. Dikayuh oleh manusia. Yang saya tumpangi dikayuh oleh seorang nona –– atau nyonya, toh saya tak mengecek statusnya.

Di depan stasiun, wanita itu, yang menyebut diri Sarah, menawarkan becaknya. Tarifnya EUR 9 (sekitar Rp 99.000) per lima belas menit. Lengkap dengan keterangan sekadarnya tentang lokasi dilewati. Terutama bila ditanya.  Dia berbicara dengan menoleh karena kayuhan ada di depan, bukan di belakang.

Sarah memang perkasa. Napasnya tidak ngos-ngosan. Jalan makadam begeronjal yang agak menanjak bisa dia taklukkan. Dengan mengangkat pantat saat mengayuh. Lalu menambah tenaga kayuhan dengan membungkuk. Agak sungkan saya memotretnya dalam keadaan begitu dari belakang karena kaosnya terangkat, sementara pinggang jinsnya ke bawah, dan seterusnya.

Saya tak tahu berapa jumlah becak di Köln, atau Cologne, atau Klonyo (ya, kota ini terkenal karena “Air Klonyo 4711”). Saya menduga tak sampai ratusan. Yang pasti becak tak menimbulkan masalah. Malah becak menjadi sajian turistis. Termasuk bagi pelancong yang berasal dari negeri becak. Negeri yang juga mengenal perempuan penarik becak, misalnya Ponirah, yang diapresiasi oleh Romo Sindunata. Cara Ponirah dan Sarah mungkin sama: menyimpan uang di bawah jok.

Tentang becak, kalaupun dia membuat semrawut kota, itu hanyalah buah dari kemelut transportasi wilayah dan tata kota. Celakanya masalah itu juga bergandengan dengan penegakan hukum. Jakarta berhasil mengatasinya. Tetapi setelah krismon, 1999, becak sempat masuk lagi karena Sutiyoso, gubenur waktu itu, bersikap lunak. Saban dini hari becak baru masuk, misalnya dari arah timur (Bekasi), melalui Pulogadung, Jalan Perintis Kemerdekaan, Cempaka Putih, lalu menyebar.

Jika menyangkut pro-kontra, maka dulu tak sedikit pejabat dan anggota DPR yang berpendapat bahwa pekerjaan menarik becak itu tidak manusiawi. Seolah memperkuda manusia. Sehingga perlu dihentikan.

Para tuan itu lupa bahwa sarana transportasi umum lain, termasuk ojek (kita anggap saja itu angkutan umum), bahkan pertambahan pemilikan sepeda motor dan sepeda, akan meminggirkan becak. Apalagi tarif becak semakin mahal. Di kompleks saya, untuk jarak 300 meter tarinya Rp 5.000. Hanya saat hujan, atau pangkalan angkot terendam, maka orang memilih becak. Kalau sedang di Yogya, saya kadang menumpang becak. Tak tega mendengar tawaran tukang becak, “Mangga, sami kaliyan taksi“. Mari, silakan, tarifnya sama dengan taksi.

Entahlah ke mana para tuan terhormat yang dulu menyebut mbecak sebagai hal yang kurang manusiawi. Mau tak mau becak akan tersingkir. Apalagi dengan pembatasan wilayah edar. Tapi apa itu “manusiawi” dan “tidak manusiawi”?

Catatan:
Supaya lebih mblenger, dan menyita waktu maupun bandwidth Anda, silakan melihat cerita bergambar tentang perjalanan di Jerman ada di Oh! Blogombal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *