Dana Aspirasi Gombal

▒ Lama baca 2 menit

KITA JANGAN MENYERAH HANYA GARA-GARA CALO.

Untunglah saya bukan guru pendidikan kewarganegaraan, sehingga tak perlu kerepotan menjawab pertanyaan murid. Misalnya tentang rencana dana aspirasi Rp 15 miliar per anggota DPR, yang kalau ditotal kopral akan menjadi Rp 8,4 triliun — lebih besar daripada dana talangan Bank Century yang Rp 6,7 triliun. Itu duit rakyat, dari APBN.

Atas nama “percepatan dan pemerataan pembangunan daerah pemilihan”, maka dari sisi distribusi Jawa ( 39 dapil, 306 kursi parlemen) akan mendapat Rp 4,59 triliun. Sedangkan Luar Jawa (77 dapil, 254 kursi), akan mendapatkan Rp 3,81 triliun.

Hanya angka. Baru rencana. Tapi duit selalu berpeluang bocor bahkan menguap. Silakan Anda otak-atik lebih jauh, tanpa bantuan dukun. Budiman Sujatmiko, bekas ketua Partai Rakyat Demokratik yang sekarang mewakili PDIP di DPR-RI, dikutip, “Tahun 2014, jangan-jangan harus didirikan LP khusus anggota DPR.”

Untung baru rencana. Untung baru Golkar yang jujur menyatakan niat soal dana — semoga partai lain ogah. Untung Menteri Keuangan Agus Martowardojo sudah menyatakan, jika disetujui maka anggaran itu hanya akan menimbulkan inefisiensi.

Lalu apa masalahnya? Inilah tahap yang harus kita lalui dalam menyusuri jalan berkerikil dan berduri, dan di ruas tertentu berlumpur rawa,  yang bernama proses demokratisasi. Ada saja kekonyolan dan petualangan politik yang mengatasnamakan rakyat, baik oleh penguasa maupun wakil rakyat (partai).

Di situ nurani dan akal sehat, pun cita-cita luhur, boleh dikesampingkan oleh para petualang karena politik adalah seni. Tepatnya seni untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin. Apa bedanya dengan sihir dan sulap?

Kalau sihir, tak semuanya kita pahami. Tidak bisa dinalar tapi terjadi. Kalau sulap hanya tipuan, ada ilmunya, dan siapapun yang terampil bisa melakukannya lalu menularkannya kepada orang lain. Lebih lucu lagi, sebagian yang nonton tahu trik itu tapi tetap terhibur.

Nah, yang dilakukan oleh politikus itu  — atas nama seni — juga semacam sulap, tapi tak menghibur. Setidaknya kesadaran kita akan rasa terkhianati itu muncul setelah tontonan usai. Kita menyumpah tiada habis karena kita ikut menyediakan kelinci dan kartu-kartu palsu untuk atraksi sulap, bahkan mungkin dengan suka rela, penuh dedikasi.

Seni tentang kemungkinan adalah soal memanfaatkan euforia, ketidaktahuan, kebingungan, dan tarik-menarik opini dalam masyarakat. Golkar sangat terlatih untuk itu. Terlatih untuk meraih, memanfaatkan, dan bila perlu memanipulasi kekuasaan atas nama rakyat. Partai lain baru belajar, baik melalui beberapa pensiunan militer maupun eks-kader Golkar yang pindah kapal. Pada masa lalu, militer dan Golkar adalah dynamic duo.

Lantas rakyat bisa apa?  Pertama memelihara kewarasan. Kedua ya bersuara. Keduanya bisa dilakukan melalui pendidikan, tak hanya dalam ruang kelas.

Soal  memajukan daerah, itu memang menjadi perjuangan wakil rakyat di parlemen — sesuai janji waktu kampanye. Tapi perjuangan mestinya dilakukan secara terbuka dan sekaligus sesuai akal sehat dan nurani, dengan mengedepankan modal awal dan peluang pengembangan wilayah secara berkesinambungan dan tumbuh terus, bukan sekadar menjadi calo agar ada gelontoran dana siap pakai, lalu ujung-ujungnya rakyat dibuat terkesima oleh si legislator.

Jika hanya menyangkut pembagian untuk setiap anggota DPR-RI per daerah, maka siapapun kampret yang jadi wakil menjadi tidak penting. Tak perlu pemilu, cukup undian saja untuk menentukan siapa yang akan mewakili daerah untuk membawa duit dari Pusat.

Bagaimana menyerap aspirasi konstituen di daerah elektroral, itu tugas tiada henti setiap partai, legislator, dan kandidat. Biayanya? Tak perlu merampok APBN, yang sebagian adalah dari pajak rakyat.

Sememuakkan apapun politikus, partai, dan parlemen, kita tetap memerlukan mereka. Demokrasi bukanlah surga, tapi itulah satu-satunya sistem yang mengakui kemanusiaan kita dan terbuka terhadap koreksi. Jalan menuju ke sana sering konyol, tak bermutu, tapi ya harus kita hadapi.

Hanya karena putus asa maka kita akan merindukan diktator. Diktator  yang akan melindas siapapun yang berbeda suara. Bahkan jika organ pengawasan dikatator bisa menyelami mimpi kita saat tidur pun maka otak kita akan dibedah. Emang enak?

© Ilustrasi: Kompas

Tinggalkan Balasan