↻ Lama baca < 1 menit ↬

MEMANG SEBAIKNYA PAKAI PERTAMAX, TAPI…

Dari sepuluh pemilik sepeda motor bermesin 200 cc ke bawah, berapakah yang membeli motor untuk klangenan, apalagi sekadar supaya teras rumah sesak. Berapa? Berapa? Be-ra-pa?

Baiklah, Tuan dan Nyonya. Saya tak hendak bicara anggaran negara. Saya tak hendak mengupas subsidi BBM untuk premium. Sudah banyak yang menyodorkan angka. Saya pun tak hendak bicara soal otomotif tentang pasal kompresi mesin yang butuh bensin beroktan layak.

Saya hanya bicara soal kecil. Mohon dibaca ulang paragraf pertama. Maka saya yakin Tuan dan Nyonya pun paham bahwa mayoritas orang membeli dan mengendarai sepeda motor karena dipaksa oleh keadaan. Drama setahun sekali saat mudik Lebaran sudah Tuan dan Nyonya ketahui.

Apa yang saya maksud dengan keadaan? Sebagai kaum pintar terdidik, Tuan dan Nyonya sudah paham bahwa pangkal masalah ada pada kekurangan sistem transportasi umum yang layak. Sebagian besar dari 35 jutaan sepeda motor di negeri ini dibeli karena angkutan umum tak membahagiakan.

Saya tak bicara soal orang akan datang ke kondangan harus naik apa. Saya bicara soal keseharian orang bepergian yang mau tak mau harus naik motor, karena gonta-ganti angkutan umum, apalagi disambung ojek, bisa menghabiskan separo gaji mereka.

Masih untung bisa beli motor, secara kredit pula, kata Tuan dan Nyonya. Baiklah, kalau ingin bicara sejarah kesejahteraan sebaiknya membuat contoh yang mengesalkan: 40 tahun silam sepeda motor adalah barang mewah, padahal seliter premium masih Rp 54.

Tuan dan Nyonya, setiap pemilik motor, terlebih keluaran lima tahun terakhir, sangat paham bahwa Pertamax lebih layak karena memberikan tarikan yang lebih bagus ketimbang Premium. Pertamax juga membuat mesin lebih awet.

Selisih Rp 1.700-an per liter akan menjadi tak penting ketika kesejahteraan meningkat, dan angkutan umum yang andal sudah tersedia.

Pada prinsipnya, nalar ekonomi semua orang yang sama. Tetapi kesempatan dan pilihan setiap orang berbeda.

Selamat berakhir pekan panjang, Tuan dan Nyonya. Bersyukurlah jika selama libur Tuan dan Nyonya berkesempatan menggunakan SUV 6.200 cc hanya untuk berdua bahkan sendirian.

© Ilustrasi: Dari repro Daniel Supriyono (Warung Barang Antik), iklan Honda Benly sekitar 1974

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *