Benteng di Tengah Kota

▒ Lama baca 2 menit

KOTA BERADAB: SEBUAH CITA-CITA BERSAMA.

Setiap kali melihat iklan kompleks hunian berbenteng ala Tembok Besar Tiongkok di Kemayoran, Jakarta Pusat, saya merenung: ada yang tak beres dalam kehidupan berkota kita. Sabar, jangan berprasangka dulu. Juga sabar, gambar dalam iklan belum tentu mewakili kenyataan.

Tak ada sentimen rasial dalam tulisan ini. Saya pun tidak anti-orang-kaya. Saya juga tidak antiprivasi. Saya paham bahwa setiap orang menginginkan wilayah hunian yang segar, nyaman, dan aman — apapun bentuknya. Saya pun mendambakannya.

Rumah adalah wilayah privat tempat setiap orang menjadi raja di rumahnya sendiri. Apapun yang dilakukan penghuni di rumahnya sendiri, sepanjang tak merugikan orang lain, adalah hak asasi. Itu harus dihormati dan dipertahankan.

Tapi ketika peradaban hari ini memperkenalkan sebuah benteng fisik yang arkais maka saya pun merenung. Ya, benteng fisik yang melindungi sebuah enklav di tengah keriuhan dan kesemrawutan desa besar Jakarta yang merasa sebagai megalopolitan. Benteng fisik yang seperti meledek kehidupan bersama, karena sebenarnya arsitektur bisa menghadirkan benteng serupa tanpa harus tampil secara wadag, tanpa harus hadir dan nyata secara fisik.

Kerimbunan hutan kota, pagar tinggi tembus pandang, satpam dan jaringan sistem keamanan, sudah membuat jarak yang sopan. Orang di luar diminta tahu diri. Batas tanpa benteng sudah diterapkan oleh beberapa mal yang sekaligus apartemen, minimal dari arah yang menghadap ke jalan raya. Orang-orang akan saling tahu diri. Sama seperti ketika kita tanpa alasan, dan sedang terkemas kurang meyakinkan, berada di depan showroom Porsche yang serbakaca: kita tahu diri, enggan untuk sekadar melihat-lihat mobil itu dari dekat.

Segregasi bisa dibuat lebih santun sebetulnya, sehingga seolah-olah alami secara sosial, padahal merupakan hasil penerapan konsep pemasaran dan (tentu) rancangan arsitektural. Melakukan segregasi dengan membangun benteng sejak dalam cetak biru seolah-olah tak percaya kepada proses sosial.

Namun kita juga harus mengakui, gagasan benteng itu tidak tiba-tiba datang dari wangsit selagi mimpi maupun saat semadi melihat selembar daun jatuh. Saya menduga itu adalah bentuk respon terhadap masalah sosial. Misalnya: Jakarta memang tidak aman, hukum tidak ditegakkan, dan kesenjangan bisa dimanfaatkan atas nama apapun dan kapanpun untuk tujuan jangka pendek yang mengabaikan kepatutan bahkan moralitas.

Jangan keburu menyalahkan pengembang, perancang, apalagi penghuninya. Kota yang beradab adalah ruang besar yang nyaman untuk setiap warga, apapun kesejahteraan dan latar belakang masing-masing orang.

Kota beradab membuat setiap orang nyaman membuka pintu dan melongokkan kepala untuk melihat ke luar. Termasuk melihat rumah orang lain dari kejauhan.

Jika membuka pintu saja sudah membuat was-was, berarti ada yang tak beres. Apalagi jika dalam situasi tertentu yang was-was itu adalah warga yang secara ekonomis lebih kuat, sekaligus tampak berbeda dalam hal tertentu, tetapi seperti (selalu) dipersalahkan.

Jika benteng bertambah dan bertambah lagi maka para tuan penguasa kota mestinya merenung: ada yang gagal dalam pengelolaan kehidupan bersama. Kota yang beradab tak banyak sekat fisik untuk halaman, apalagi yang tebal dan pejal, padahal masih dalam satu pertetanggaan berisi blok gedung tinggi.

Kota yang beradab tak mencurigai warganya, dan tak membiarkan warganya saling mencurigai.

Tinggalkan Balasan