↻ Lama baca 2 menit ↬

ANTARA SUKA DAN TAK SUKA: KITA MENGGUNAKANNYA.

Suara bajaj non-BBG memang mengganggu. Bising. Membuat kita urung-uringan saat menelepon karena trongtongtongnya menginterupsi pembicaraan — padahal kita tidak sedang naik bajaj. Sialnya kita saja, kenapa sepuluh tahun lalu kurang kreatif dan kurang melek pemasaran sehingga tidak menjual suara bocah Jakarta menirukan bajaj sebagai nada dering.

Bajaj bising adalah jenis kendaraan pengangkut yang suaranya menghalangi kita untuk ngobrol dengan sopir. Misalkan sopir dan penumpang sama-sama menggunakan spiker monitor maka hasilnya adalah kebisingan berlipat.

Barangkali selain pengukur emisi, yang perlu diterapkan pada bajaj adalah pengukur desibel. Ah, itu berlebihan. Nyatanya saya suka bajaj, selain ojek. Terutama untuk jarak dekat.

Ojek masih di atas bajaj untuk dua hal. Pertama: sepanjang mulut dan tengkuk si Bang Jack tidak bau, dan kebisingan sekitar rendah, lagi pula dia tidak ngebut, maka dia bisa diajak bicara. Kedua: daya jelajah ojek melebihi bajaj — hanya kelelahan dan akal sehat (baca: keterpaksaan) penumpang maupun pengemudi yang menjadi batas.

Dengan sopir taksi, bahkan dengan sopir Mikrolet kalau kita duduk di depan, kita bisa memperoleh cerita. Dari sopir bajaj? Sama-sama berteriak pun tak saling mendengar. Tepukan penumpang ke punggung sopir seringkali menjadi saklar lampu sein (yang tak pernah menyala) bahkan pedal rem. Sesuai tempolah. Agak mirip sais dokar mengendalikan kuda.

Maka sejauh saya tahu, di blog dan lainnya jarang ada cerita obrolan dengan sopir bajaj. Dari yang jarang itu salah satunya ada di Ngerumpi, dengan adegan penumpang terluka karena melompat keluar selagi bajaj berjalan.

Daya jelajah bajaj itu terbatas, bahkan di wilayah edarnya sendiri. Pembatasnya adalah rambu larangan pada jalan tertentu untuk kendaraan beroda tiga.

Maka seorang sopir bajaj, suatu malam pekan lalu, kebingungan ketika saya minta mengantar dari Langsat ke Santa. Selama sepuluh tahunan membajaj, dia hanya tahu Mayestik, Mahakam, Barito, Kramatpela, Gandaria, Pondok Indah.

Di luar itu, meskipun masih di Selatan, adalah serupa terra incognita. Tapi dia tetap tahu daerah lain karena hapal rute Metromini dan Kopaja — hanya rutenya, menurut papan rute dan tuturan orang terutama teriakan kondektur.

“Set dah, ini di mana Pak? Ngarah ke Blok S, yak? Emang Blok S di mana?” teriaknya saat dia masuk ke jalan gelap di belakang Mabes Polri. Selama perjalanan kami saling berteriak.

Naik bajaj juga merepotkan dalam pemotretan, terutama pada malam hari. Getaran dan guncangannya kurang bersahabat dengan kamera saku biasa. Apalagi bajaj yang saya naiki tak berlampu: tiba-tiba bisa melompat karena gundukan dan oleng karena jeglongan. Saat rana membuka hasilnya adalah garis cahaya zig-zag.

Berapa jumlah bajaj di Jakarta? Yang ada hanya taksiran. Sekitar 14.500. Seorang cucu-menantu juragan bajaj pernah bercerita kepada saya bahwa bajaj tetap diproduksi jika ada pesanan. Secara diam-diam. Di bengkel khusus.

Itulah bajaj bodong. Semacam produk haram, tanpa faktur pabrik dan BPKB selayaknya mobil dan sepeda motor. Tapi saat musim mudik Lebaran, bajaj bisa menjadi angkutan antarkota antarprovinsi (Lihat: “Bajaj Pasti Belagu“).

Hatta, berkatalah Tuan Prya Ramadhani, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta:

“Bagaimana dengan bajaj yang dicurigai banyak bajaj bodong dan sejak tahu 1998 izinnya tak keluar lagi? Ini perlu dilakukan low inforcement [sic!]. Penertiban di jalan itu perlu.” (Angkutan Tua Dipelihara Oknum)

Adapun Tuan Lulung Lunggana, Wakil Ketua DPRD DKI, pernah berujar:

“Tidak menyusutnya jumlah bajaj diduga karena adanya perakitan bajaj baru. Ini yang perlu dilacak dan diusut…” (DKI Diminta Serius Tertibkan Bajaj)

Biarlah itu menjadi urusan para tuan. Termasuk mendatangkan 2.000-an bajaj baru dari India, negeri penghasil Bajaj. Bajaj dalam pelafalan ba-jay terus berlalu.

“Kagak ngatri urusan gituan, mau pake bajaj gas ato kagak, itu urusan juragan. Yang penting setoran aman,” kata sopir bajaj ketika saya mau turun. Tetap berteriak karena mesin tetap menyala.

Jangan tanyakan kenapa bajaj tak sediakan kotak P3K, terutama Tensoplast atau Handiplast, padahal penumpang sering terluka oleh pintu dan sambungan las yang kasar.

Jika Anda pria tak hanya dikira manja tapi juga kurang macho kenapa mudah terluka. Tungkai panjang itu salah sendiri, jangan salahkan desain interior.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *