Ngeblog saya adalah "menghasilkan konten Indonesia di tengah belantara teks".
↻ Lama baca 3 menit ↬

CATATAN UNTUK PENGHARGAAN TERHADAP SPIRIT.

Konten Indonesia: Juga Lingerie dengan Pop Mie

Blog ini mendapat penghargaan dari The BOBs Deutsche Welle, Jerman. Terima kasih, terutama kepada pengusul yang tidak saya ketahui. Bagi saya ini adalah penghargaan untuk banyak bloggers Indonesia. Saya hanya wakil.

Ya, wakil dari teman-teman yang memiliki spirit sama: mengisi konten di internet. Menjadi saksi zaman, yang setahap demi setahap menghasilkan banyak kepingan jigsaw puzzle bernama potret Indonesia pada suatu kurun. Jigsaw puzzle yang tak pernah dan tak perlu selesai.

Konten (tentang) Indonesia

Blogombal menang di Deutsche Welle Jerman

Kalau saya rumuskan, proses bersaksi terhadap zaman itu adalah “menghasilkan konten Indonesia di tengah belantara teks”.

Sungguh kalimat yang gagah, dan tentu gegabah, tapi keren dan memberi kesan terpelajar.:D Tak apa, di tengah snobisme akademis gaya scientistic memang lebih penting ketimbang prinsip scientific. :P

Konten Indonesia. Belantara teks. Ini abstrak sekaligus nyata.

Abstrak, karena butuh penjelasan — beberapa posting saya menyentil itu.

Nyata, karena sudah dan terus kita lakukan: melaporkan amatan terhadap keseharian (tidak harus saban hari), baik berupa kesaksian maupun opini, bahkan berupa puisi dan solilokui prosais.

Berbarengan dengan itu mesin pencari semakin pintar, temboloknya kian tambun. Mesin penerjemah pun terus ditingkatkan kemampuannya — tapi pasti kalah dalam menangkap konteks dan nuansa bila dibandingkan manusia.

Lima tahun silam salah satu blog saya dipergoki oleh seorang bloger dan desainer grafis Spanyol (Papel Continuo). Karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia maka dia manfaatkan mesin penerjemah versi dini (ToggleText) yang ditaja oleh Telkomsel. Hasilnya dimasukkan ke Boingboing, salah satu situs pencatat “apapun yang unik” saat itu.

Yang terserak, yang terangkum

Bukankah semuanya terserak, bahkan kadang tak saling hubung? Saya percaya kepada para penafsir dan peramu. Kicauan singkat pada Twitter, yaitu “Lapar”, jika jelas konteksnya maka bernilai. Misalnya dia sedang diperiksa polisi dan sudah memasuki jam keenam.

Begitu pula kicauan yang mungkin ganjen lagi eksibisionistis dari seorang pria urban, eksekutif biro iklan, bahwa penumpang sebelah dalam KRL memperhatikan kuku jari tangannya dicat hitam dan perak. Di tangan peramu dan pembingkai, kasus cat kuku dan info lain yang relevan adalah sebentuk kepingan potret Indonesia. Blog mampu melakukannya.

Apa bagusnya? Inilah era media sosial. Konten yang kita cerna tak melulu disediakan oleh media lama yang sangat bergantung pada Tuan Editor yang mengerahkan barisan reporternya tapi kita tak tahu proses dan bahan mentahnya, kecuali ada kasus sehingga ombudsman internal turun tangan. (Catatan: media terlembagakan tetap kita butuhkan karena mereka punya organisasi dan prosedur yang tak dapat dilakukan perorangan).

Kini di internet setiap orang bisa menjadi penerbit merangkap penulis, editor, dan distributor — bahkan kolportir. Itu sebuah lompatan jauh setelah sekian abad kita hanya memperpanjang langkah Johannes Gutenberg yang menemukan mesin cetak untuk memperbanyak Alkitab agar teks dan tafsir tak hanya dimonopoli oleh biara.

Di internet setiap orang berkemungkinan menjadi seleb dalam jaringan perkawanannya sehingga lontaran pribadi di public timeline disimak banyak orang. Sebelumnya pesohor hanya diciptakan oleh koran, majalah, radio, dan TV. Suka tak suka khalayak pun menerimanya. Tepatnya: terpaksa jadi tahu. Karena dipilihkan.

Memang boleh saja dibilang apa yang terjadi pada media baru, yaitu media dan jejaring sosial, hanyalah perpanjangan dari dunia nyata: obrolan, rasan-rasan, diskusi dengan topik sebatas judul. Tapi menurut saya berbeda.

Obrolan di internet sudah berubah menjadi teks (berupa tulisan, gambar, suara, dan video). Itu terdokumentasikan dan tersebarkan. Bahkan di internet, persebaran dan pemaknaannya sudah di luar kendali penyumbang isi. Berbiak dan semuanya tercatat, jauh melebihi kemampuan mesin cetak koran tercepat. Siapapun bisa mencomot tanpa mengetik ulang — dengan ekses pengunyah terakhir tak tahu asal muasal konten dan hak cipta pun terabaikan. Itulah belantara teks.

Dalam peramuan itu, yang kalau digagah-gagahkan adalah mengonstruksikan pretelan menjadi sebuah wacana, blog masih paling pas. Bahannya bisa dari wadah lain, sejak milis, forum, situs web atas nama alias tertentu, blog lain, situs berita, sampai Wikipedia dan kamus online.

Maka dapat saya katakan bahwa pengkaji cultural studies akan terbantu oleh Fuck Yeah Alays!. Di tengah ledekan terhadap “alay(isme)”, blog yang comot sana-sini itu adalah sebuah dokumen berharga.

Merekam jejak perubahan

Blog, yang dihasilkan oleh sistem pengelolaan konten, adalah saksi zaman. Blog merekam perubahan. Mesin pencari dan temboloknya, dengan bantuan mesin penerjemah, membantu kita menemukan jejak sejarah: kita bukan orang yang tiba-tiba tercipta dan hadir.

Jika bicara potret zaman dan perubahan sosial mungkin terdengar muluk-muluk. Baiklah kita becermin. Sepuluh tahun lalu sulit membayangkan sekelompok wanita Indonesia, nona-nona dan ibu-ibu muda, yang mungkin tak saling kenal secara pribadi, bisa berbagi info dan foto belanjaan berupa lingerie. Salah satu foto jeroan itu melibatkan Pop Mie sebagai penindih alas. Sungguh sebuah teks Indonesia. Konten Indonesia. Coba lihat. :D

Sama seperti kita menikmati NiceTry, sebuah wadah penampung kelucuan Indonesia melalui foto dari pelbagai sumber. Sepuluh tahun lagi kita masih punya jejak langkah perjalanan Indonesia. Sama seperti saya membuat blog Memo yang ringkas dan berilustrasi, dengan pengisian lebih kerap ketimbang blog ini.

Jejak langkah tak hanya berupa esei yang membingungkan, seperti tulisan ini. Dia juga bisa berupa fashion blog yang mewakili sebuah gaya hidup dan arus konsumsi urban. Misalnya Diana Rikasari (Hot Chocolate & Mint), cewek 25 tahun yang akhirnya mendapatkan manfaat ekonomis dari kegemarannya ngeblog dan berdandan (dan berbelanja), serta Evita Nuh (The crème de la crop) yang masih berusia 11 tahun.

Blog mereka sama bernilainya dengan posting orang lain tentang halte Transjakarta yang rusak, kemacetan, got mampet, pasar becek, gedung sekolah roboh, dan juga sensasi belanja obralan tengah malam di mal maupun pengalaman rave party di Jakarta dengan DJ dari Negeri Belanda.

Salam blog. :)

© Sumber ilustrasi: FemaleDaily, dimuat tanpa izin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *