“TANPA BATIK CINA, SAYA NDAK BISA BATIKAN!”
“Lima puluh deh, Bos,” kata pengasong boneka besar itu. Maksudnya Rp 50.000. Kalau antrean kemacetan lebih panjang, dan saya ngeyel, mungkin bisa berkurang Rp 5.000. Seperti belasan pengasong lain di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Sabtu malam lalu, dia menjajakan boneka berbentuk kursi, bisa diduduki. Bukaan pertama penawaran adalah Rp 160.000.
Misalkan dagangan yang bikin sewot pengendara sepeda motor (besar, menghalangi pandangan dan celah) itu laris, mungkin hari ini tak dijajakan lagi.
Ya, seperti dulu. Penjaja globe ada di mana-mana, lalu habis. Pemasoknya menggantinya dengan apa, yang terakhir adalah korek api jumbo. Sebelumnya adalah tabir surya untuk mobil. Dan sebelumnya lagi adalah boneka Barbie tiruan. Selain itu silakan Anda tambahkan sendiri.
Mereka, para pengasong itu, riel. Sebelum ada kepusingan negosiasi Indonesia dalam perdagangan bebas Cina-ASEAN mereka sudah ada. Karena pemasoknya juga ada. Bagaimana barang bisa masuk dengan harga amat sangat murah, itulah ekonomin abu-abu. Ada yang menyebut ekonomi bawah tanah.
Abu-abu. Antara jelas dan tidak. Dalam bahasa pedagang, bergantung kontrol di pelabuhan. Pernah seorang kawan kerepotan mengganti tuas transmisi BMW, di bengkel resmi, karena di Tanjung Priok sedang ketat. Atau dalam tuturan Oom Muchtar, bekas penyalur audio Mark Levinson di Glodok, “Pusing Bos kalo douane lagi ngepres. Barang susah masuk.” Dalam guyon konsumen produk RRC adalah, “USB flash disk dan kelengkeng itu masuk dalam kontainer yang sama.”
Tadi di Twitter, Danny Oei Wirianto (@dwirianto), salah satu juragan Kaskus, berkicau, “God made heaven and earth, the rest was MADE IN CHINA.”
Ya, kita mau bilang apa? Pemerintah dan industri lokal boleh pusing, sementara kita tak mau tahu matematika barang legal berupa smartphone ber-Wi-Fi seharga Rp 700.000-an. Itu belum ditambah barang gelap yang tentu saja tak bayar pajak sehingga murahnya entah sampai batas mana.
Jangan berpikir jangka pendek, kata orang bijak. Yang hari ini menyenangkan, akhirnya melenakan. Kalau pabrik tutup banyak orang kehilangan pekerjaan.
“Tapi itu bukan urusan saya. Tanpa bacin (batik dari Cina) saya ndak bisa batikan — padahal saya orang sini. Bahwa barang murah mungkin dihasilkan melalui penindasan buruh, itu juga bukan urusan saya. Sampeyan, pemerintah dan orang-orang pinter, bisa sediakan apa untuk daya beli saya? Ini kehendak zaman!”
Saya pernah mendengar seperti itu di sebuah kedai. Jangan-jangan itu mewakili banyak kepala. Termasuk kepala saya. Kita sering mendua.