CERITA DARI LAPAK PENJUAL MAINAN.
Anda dulu melakukan ini: menggunakan uang jajan untuk membeli mainan yang dijajakan di luar sekolah. Ya, kan? Namanya uang jajan; orangtua memberikannya untuk membeli penganan dan minuman. Bukan untuk membeli barang.
Tadi pagi saya juga melihat penjaja mainan di dekat sebuah SD negeri di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ada tiga lapak di sana.
Bagi saya ini menarik karena sekarang tak semua murid SD di Jabodetabek bisa membeli mainan dan jajanan di luar pagar. Bahkan penjaja pun terusir oleh satpam maupun penertib lain. Lihat saja di sekolah-sekolah mentereng berkurikula berkurikulum internasional itu.
Tidak, saya tidak mengeluh. Kalau semua tempat boleh menjadi pasar kaget memang bakal semrawut. Hari ini lima penjual, lantas bulan depan jadi sepuluh — dan malamnya ada pecel lele dan nasi uduk dan bahkan penyedia sewa tubuh. Kota memang kudu ditata untuk kepentingan bersama.
Dan marilah kita lihat. Selain yo-yo kayu Rp 2.000, gasing kayu Rp 1.000, sekantong plastik uang mainan (lima lembar) seharga Rp 1.000, sekantong plastik kelereng (sepuluh butir) seharga Rp 1.000, gelang pegas Rp 1.000, dan mobil-mobilan Rp 15.000, ada pula anak-anak unggas.
Ya, unggas. Dalam kandang, bekas keranjang plastik buah impor. Anak ayam “negeri” seharga Rp 3.000 per ekor, anak ayam kampung seharga Rp 10.000, dan anak bebek seharga Rp 5.000 per ekor.
Lho bukannya itu lumrah, anak ayam sering dibarter dengan barang rombeng rumah tangga di kampung-kampung?
Ya. Tapi ini di Jakarta. Permukiman kian sesak.
Memang tak semuanya sepadat blok tertentu di Tambora, kawasan terpadat di Jakarta. Di sana, lorong tertentu itu, pada malam hari, tak sedikit lelaki kongko di luar dengan bertelanjang dada karena malam adalah saat rumah sesak, padahal anak sekolah harus belajar. Ini Jakarta; di manakah anak-anak ayam dipelihara karena anak manusia pun berdesakan sehingga kelak pada tahap kesekian evolusinya manusia warga kota padat (tapi malas mengerem kelahiran) bisa tidur sambil berdiri?
Terlalu jauh bicara evolusi sebagai respon spasial, sebagai tanggap keruangan. Sekali lagi persoalan aktualnya ini: di manakah, dan dengan cara apakah anak-anak ayam itu dipiara? Di kali manakah anak bebek diumbar?
Penjual dan orang sekeliling hanya tertawa. Apakah anak ayam hanya untuk mainan, kalau mati (atau dibiarkan mati akibat pengampunya bosan) pun tak soal?
Lagi-lagi hanya tawa jawabannya. Ada yang menyelutuk, “Namanya juga anak, Pak.”
Ketika kita melintasi permukiman padat, kadang sedikit ayam yang berlalu lalang. Malah tikus yang lebih banyak — kalau malam bisa membuat kaki tersandung. Nyerimpungi, kata orang Jawa.
Kalau saja saya ada waktu menunggu hingga bubaran sekolah, dan ada anak membeli anak unggas, lalu saya datang ke rumahnya, tentu saya beroleh jawab. Tapi blog ini bukanlah sebuah wadah jurnalistik. Hanya sekadar catatan turistik eh turistis yang justru bukan oleh orang luar kota apalagi luar negeri.
Boleh jadi anak ayam dan yo-yo dan gasing hanyalah pemuas hasrat homo ludens — manusia pemain, manusia bermain. Sama seperti (mungkin) blog ini di tengah riuh media sosial.