↻ Lama baca 2 menit ↬

MENYIKAPI  VIDEO BOCAH BERTUTUR JOROK DI FACEBOOK.

Bocah laki yang tampaknya belum lima tahun itu menjawab, setelah dewasa ingin jadi maling. Uangnya untuk menyewa pelacur di Dolly. Selebihnya adalah tuturan urakan, dari nama genital sampai peragaan sanggama. Ada juga kegawatan lainnya: anak itu klepas-klepus, mengisap rokok dalam-dalam dan memainkan asapnya menjadi donat. Sebagian dari Anda sudah melihat video 2.18 menit itu di Facebook.

Tak ada sensor  suara maupun wajah di sana. Bahkan nama si anak pun disebut. Memang tanpa subtitel untuk percakapan bahasa Jawa dalam logat Suroboyoan itu, tapi dengan menanya orang Jawa Anda akan kaget setelah tahu artinya.

Baiklah kita bisa saja berandai-andai. Bocah yang berdiri di atas tumpukan kardus dan karung (gudang ekspedisi?) mungkin hanyalah korban lingkungan. Dia telanjur mendapatkan didikan yang salah, tumbuh dalam lingkungan mbambung. Tapi kenapa pula sejumlah orang dewasa (ada suara perempuan segala) menanggap dan merekamnya kemudian menayangkan hasil videonya di media sosial?

Misalkan pun video itu bagian dari studi sosial, tetap saja tak layak ditampilkan di ranah publik tanpa sensor diri. Dengan maupun tanpa kepentingan ilmiah, ada hal yang lebih penting yaitu masa depan anak itu. Kasihan, sejak kecil dia sudah menyandang stigma karena ulah sejumlah orang dewasa yang menyebarkan videonya di internet.

Coba kita rujuk negeri lain yang lebih bebas. Tayangan langsung, misalnya Grammy Award, sebisanya memfilter kata kotor dari siapapun yang ngoceh di panggung. Bahkan salah satu klip video lama Avril Lavinge memozaik kaos salah satu pemain karena desainnya mungkin tergolong “explicit“.

Lantas? Apakah kasus bocah saru, yang bicara dan berperilaku tak pantas untuk usianya ini, merupakan bukti bahwa Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Konten Multimedia  layak diberlakukan?

Tidak, menurut saya. Rujukan bahwa Australia juga ingin melakukan sensor dan kontrol tehadap Google dan Yahoo!, padahal mereka lebih bebas daripada kita, juga bukan alasan.

Kita harus melindungi anak-anak, itu benar adanya. Bahkan wajib. Tapi yang utama adalah mekanisme kontrol sosial dalam bermedia. Untuk kasus Facebook, pengguna tinggal menyatakan keberatan melalui Report Video, dengan alasan melanggar ketentuan layanan.

Biarkan masyarakat mengatur sendiri secara dewasa, dengan akal sehat dan hukum yang ada. Pihak yang dirugikan, misalnya orangtua si bocah, bisa meminta pengacara LBH untuk memperkarakan orang-orang yang memvideokan anaknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *