Angkutan Malam. Apa Istimewanya?

▒ Lama baca < 1 menit

TAK ADA, DAN TAK PERLU, DIBANGGAKAN.

Tak ada istimewanya. Bagi banyak orang itu biasa. Sesuatu yang harus dilakoni. Malam demi malam. Naik angkutan umum. Kadang dengan terpaksa, tak jarang karena pilihan.

Tidak ada istimewanya. Ini bukan hanya soal Jakarta dan sekitarnya. Kota lain juga punya angkutan umum. Juga ada yang berjalan malam hari — dengan batas waktu malam terlarut yang beragam.

Tidak ada istimewanya. Dulu, ketika saya masih muda, dan Colt adalah raja jalanan yang banyak membawa celaka, banyak ibu bahkan nenek yang menjadi pelaju, biasanya pedagang, menempuh perjalanan pulang malam hari.

Tidak ada istimewanya. Risiko selalu ada. Hanya dan jika serius peristiwanya maka dia menjadi kenangan — seringkali buruk dan traumatis.

Tidak ada istimewanya. Kejahatan jalanan, dari pencopet sampai penodong, diterima sebagai kelopak kembang risiko. Kelangkaan kendaraan umum pada suatu malam diterima dengan seperempat pasrah dan tiga per empat harap. Kemacetan parah di beberapa titik dan ruas jalan, sehingga baru larut malam mereka tiba di rumah, dianggap sebagai ragam kehidupan. Tiba dalam keadaan lapar. Tak jarang kaum ibu yang masih punya bayi tiba dengan air susu yang sudah keluar karena jadwal laktasi sudah terlangkahi.

Tidak ada istimewanya. Ini bukan hanya menyangkut mereka, tetapi juga kita. Sebagian dari kita. Selangka apapun kendaraan tetap ada angkutan sampai pagi — tapi hanya pada rute tertentu.

Tidak ada istimewanya. Setiap kenaikan tarif angkutan umum hanya menimbulkan gerutu paling lama sebulan. Sesudahya orang menyesuaikan diri karena hidup harus dijalani — dan disiasati.

Tidak ada istimewanya. Beberapa sopir angkot kecil di pinggiran mengeluh bahwa penumpangnya berkurang karena pemilikan sepeda motor kian meluas. Beberapa tukang ojek pun mengeluh bahwa penumpang berkurang — terutama laki-lakinya, yang sudah memiliki motor sendiri.

Tidak ada istimewanya. Kondisi angkutan umum tidak memuaskan sehingga semakin menjadi ekonomi biaya tinggi jika kekesalan diberi harga — tapi itu toh tetap diterima dengan kepasrahan oleh para pengguna.

Tidak ada istimewanya. Sehingga para tuan perancang, penata, dan penguasa kota pun tidak tergugah untuk membanggakannya kepada orang luar. Lebih menggairahkan memamerkan gedung bagus, jalan mulus, dan mobil bagus milik warga yang melintasinya, kepada orang luar.

Tidak ada istimewanya. Kecuali kelak, ketika para tuan sadar bahwa sistem transportasi umumnya memang istimewa dalam arti bagus sehingga layak dibanggakan. Kelak? Kapan? Entah.

Tidak ada istimewanya dengan jawaban entah yang seolah menyerah, toh itu tetap lebih sehat bagi jiwa dan raga ketimbang hanya marah-marah.

Tinggalkan Balasan