BUKAN DUNIA BAWAH TANAH, TAPI TAK KITA KENALI.
Kemarin pagi saya melintasi jembatan kayu itu. Ada dua orang di bawah. Tampaknya sibuk. Saya berhenti. Mereka memegang tongkat pendek, pejal, dengan pemberat yang terendam air keruh kali. Akhirnya saya tak tahan untuk bertanya, “Maaf Pak, lagi nyari apa?”
“Nyari paku nih, Pak!” jawab salah seorang, yang muda. Dia menoleh sebentar kemudian kembali bekerja.
Jelas sudah persoalannya. Bonggol pemberat itu magnet, entah pretelan dari barang bekas apa. Kadang bonggol didiamkan dulu, kadang untuk mengubek-ubek. Cuma menempel satu, oh dua, aha lima batang paku! Lantas dia memungutnya dan memindahkannya ke wadah.
Sehari seorang bisa mendapatkan sekilo paku karatan. Sehari itu dari pagi sampai menjelang sore.
Saya tak melakukan wawancara berapa harga jualnya, siapa penampungnya. Tentu saya tak menanya siapa mereka, umurnya, asalnya. Dari sebuah amatan turistis di kota sendiri, yang sibuk dan bergegas, sesungguhnya kita takkan mendapatkan banyak hal. Jangankan galian, cerita permukaan dangkal pun tidak.
Tak ada waktu. Mengamati pekerjaan kaum yang terpinggirkan merupakan kemewahan. Tak semua orang, yang merasa sebagai “kelas menengah”, sanggup melakukannya — kecuali dalam keterjebakan situasi, dari menunggu di halte sampai duduk berdesakan dalam bus kota.
Tak ada waktu. Juga tak ada alasan. Kecuali pelintas iseng, yang menganggap setiap hari ada hal baru sehingga layak disyukuri. Karena tanpa itu hidup sungguh membosankan. Bahkan memuakkan. Tinggal beberapa langkah untuk bunuh diri.
Bukan pertama kali itu saya melihat orang menyusuri kali, atau bantaran kali, untuk mengais rezeki. Di kali yang membelah areal Mal Pondok Indah I lebih dari sekali saya melihatnya. Anda pun pernah, bahkan sering, melihatnya — entah di mana.
Cobalah lakukan percakapan singkat, dengan penuh simak, tapi akan mereka rasakan sebagai gangguan: dari titik manakah mereka mengawali perjalanan, lalu mencebur, dan seterusnya, lantas di titik manakah rute berakhir.
Jawabannya akan pendek: “Dari sono noh. Rampungnya di sono deket itu tuh…”
Koordinat “sono” dan “itu tuh” tak mudah terjejak oleh GPS — karena memang tak kita masukkan, dan memang tak penting. Seakurat apapun pencatatan itu tak lebih dari data pemenuh memori digital.
Kehidupan pengais rezeki kali adalah nyata, gatalnya mereka rasakan sendiri, kekecewaannya mereka telan sendiri, keberuntungannya mereka sorakkan sendiri. Hmm… ini tamsil berlebihan — dan berjarak. Pialang saham pun boleh merasa begitu. Intinya kita tak pernah kunjung paham dunia manusia lain.
Ketidakpahaman terasa saat benak kita mencoba mengenali titik demi titik rute mereka. Jika menyangkut jalan raya, itu mudah. Tapi lintasan kali di belakang pasar, di bawah jembatan, dekat rumah sakit, yang kesemuanya berbau busuk, saya yakin kita tak paham — kecuali melihat peta.
Sebuah kota bisa dikatakan hidup jika dari kebusukannya tetap ada tetesan rezeki. Termasuk rezeki dari paku berkarat. Yang dikumpulkan batang demi batang. Yang untuk mendapatkannya mungkin harus bertemu bangkai tikus got dan bahkan mayat bayi dalam tas kresek — atau potongan tubuh hasil mutilasi.
Ada berapa banyak jenis pekerjaan di desa besar yang merasa metropolis ini? Sebanyak-banyak kategori takkan mencakup semuanya. Kehidupan memang terlalu kaya untuk dikategorisasi kemudian dikuantifikasi. Tapi tanpa penyederhanaan, otak manusia akan semakin ruwet.
Dari anak kesekian, yang berindukkan turunan entah keberapa dari sebuah subkategori, itu ada pekerjaan spesifik bernama “pemulung paku karatan di sungai”. Sebuah pemetaan yang mengesalkan dalam pekerjaan statistik besar.
Dan nun di ujung turunan kategori lain, ada pekerjaan bernama makelar kasus. Tak apa, karena salah satu ciri masyarakat modern adalah diferensiasi pekerjaan.
Ketika tadi saya membayangkan jadi guru SD, maka terbayang sulitnya kalau harus memperkenalkan ini semua dengan memberikan pengalaman kepada para murid. Untung saya bukan guru. Saya hanya suka menggurui. Untuk menghibur diri sendiri. Mungkin ini jenis gangguan kejiwaan yang entah apa. :D