↻ Lama baca 2 menit ↬

KELAK AKAN JADI PROYEK SENI VISUAL?

Sekeluar dari ruang resepsi menuju parkiran, kami diikuti seorang pengasong foto. Kami terburu-buru karena masih gerimis. “Beli dong,” katanya kepada istri saya. “Ayo dong Bu,” katanya kepada seorang ibu yang menumpang kami. Masih gerimis. Kami terburu. Segera masuk ke mobil. “Beli dong,” masih terdengar suara itu.

Ibu yang bersama kami akhirnya tak tega. Entah berapa yang dia keluarkan. Penawaran terakhir yang saya dengar sih Rp 50.000 untuk tiga lembar foto ukuran 5R, masing-masing disertai film negatif. “Nggak tega aku, Jadi kepikiran anak-anakku nyari makan juga susah,” kata ibu itu.

Bukan hal baru. Tukang foto dadakan selalu ada di seminar dan wisuda. Mereka bermain di area luar, depan pintu masuk. Itu wilayah aman, termasuk bagi ojek payung. Tak ada alasan bagi petugas keamanan acara untuk menghalau — kecuali security-nya pejabat dan orang kaya yang selalu memperluas wilayah steril.

Bukan hal baru, tapi untuk perhelatan nikah seperti di Taman Mini Indonesia Indah itubaru saya jumpai Sabtu malam lalu. Perlu kegigihan karena mereka cukup boros jepretan. Setiap tamu setidaknya butuh dua kali — padahal memakai film. Baterai kering pemasuk setrum lampu kilat tampaknya cukup.

Saya tak sempat mencari tahu lebih jauh. Sama seperti umumnya blog, yang ada hanyalah tulisan berjarak. Miskin fakta, kaya tafsir — tanpa pendalaman dan pendekatan terhadap manusia. Maka saya pun hanya berandai-andai.

Tim fotografer penuh inisiatif itu saya amati terdiri dari tiga orang. Yang terluput dari amatan saya adalah peran runner, yang harus membawa film terpakai ke minilab terdekat, di tengah hujan deras.

Entahlah bagaimana pembagian tugasnya. Yang pasti dalam satu setengah jam semua foto harus sudah jadi. Oh itu bukan masalah. Teknologi memberi jalan keluar.

Ada yang lebih menarik: mencocokkan wajah orang yang keluar dari ruang dengan puluhan foto yang terbungkus plastik. Jangan sampai dalam paket terjadi pertukaran, Pak A bersama Nona X, dan Bu Z bersama Pak B. Si tertukar mungkin tak bermasalah, tetapi pasangannya yang kurang berkenan.

Fotografi lama, yang nondigital, bukan untuk “seni-senian”, ternyata masih laku. Ini soal “kahanan” dan kesesuaian dengan pasar. Ini serupa jepretan Polaroid di taman hiburan. Jangan-jangan memang layak simpan padahal Anda tak ada ikatan emosional dengan pemotretnya.

Saya tak habis pikir soal foto-foto yang tak laku. Kalaupun dibuang mungkin juga tak bermanfaat bagi yang menemukan. Suatu hari akan ada mahasiswa seni rupa, atau blogger iseng sok kreatif, yang “membingkaikan makna” terhadap foto-foto tak laku itu lantas memamerkannya.

Barangnya sama. Cuma foto-foto tak laku. Tetapi di tangan orang sekolahan yang “lebih berkonsep”, foto-foto itu akan mendapatan ruang dialog baru. Ruang yang mungkin amat jauh dari jelajah kepentingan si pemotret.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *