Sisa-sisa yang Bertahan oleh Terjangan Digital

▒ Lama baca < 1 menit

SPANDUK KAIN LEBIH MAHAL TAPI (TERKADANG) LEBIH “NYENI”.

Saya tak tahu sekarang ini berapa ongkos bikin spanduk untuk warung tenda. Dua belas tahun lalu (ya!), seorang penjual sari laut mengeluarkan Rp 200.000 untuk kain rentang yang tingginya sekitar satu meter (atau 90 cm?) dan panjangnya empat meter. Itu pun tak jadi dalam sehari. Sekarang dengan cetak digital, spanduk (plastik) yang berukuran sama cuma berongkos Rp 72.000 ribu –– biaya per meter perseginya Rp 18.000.

Plastik lebih kaku tapi kedap air. Usia pakainya, untuk luar ruang dengan tinta murah, bisa enam bulan. Karena ini negeri pemulung, plastik bekas spanduk itu selalu ada yang memanfaatkan. Misalnya untuk alas tikar.

Baiklah ini soal kemajuan teknologi. Apapun, kalau massal, dan kompetisinya ketat, akan memurah. Tapi saya kehilangan sesuatu: sentuhan tangan berupa gambar dan tulisan.

Sebagian besar gambar-gambar pada spanduk kain itu tak mencontoh buku grafis apalagi sumber di internet. Untuk tipografi pun demikian. Paling banter mencontoh “buku letter” murah meriah yang oleh penyusunnya dikerjakan penuh percaya diri karena mengabaikan semua teori tipografi ala sekolahan.

Saya kehilangan tapi tak saya ratapi. Saya hanya mencoba mengapresiasi sebelum itu semua punah. Sama seperti terhadap baliho bioskop yang wajah aktor dan aktrisnya tak jarang mengundang tebakan.

Para pembuat spanduk dan baliho secara manual itu juga berhak menyebut diri artis. Kalau istlah artis kadung disalahkaprahkan dengan bintang hiburan yang berkilau, maka bolehlah mereka menyebut diri seniman.

Di Yogya dulu ada “ahli papan nama dan letter”, namanya Potho. Pintu truk pun bisa dia tulisi dengan rapi, memakai cat, dan awet pula. Saya tak tahu bagaimana sekarang bisnis Potho dan lainnya, karena stiker hasil cetak digital dan stiker potong hasil olahan pisau plotter kian murah.

Tentang istilah “artis”, ada kawan saya, seorang desainer grafis, yang lebih suka kata “artist“. Menurutnya artinya beda. Antara lain ya tersebab konotasi itu. Dulu malah ada teman saya yang bingung untuk membedakan “artis” dan “aktris”. :)

Bonus: untuk hasil karya seniman pada bak truk, lihat Pesanlewat.com

Tinggalkan Balasan