RUMAH KITA, CANGKANG KITA.
Jadi, apa sebetulnya yang kita butuhkan dari pagar halaman depan rumah kita? Misalkan perda tak mengaturnya, mungkin kita semua akan membangun pagar bumi yang tinggi mirip beberapa kota lama yang banyak saudagarnya. Setiap rumah adalah benteng dalam wujud fisik. Orang luar maupun penghuni harus saling intip.
Tengoklah sekitar. Bahkan maaf, mungkin juga rumah Anda. Pagar besi anyam BRC pun kita pasangi lembaran plastik. Terserah orang bilang itu mika, “piber”, atau polikarbonat, tapi intinya adalah kita menyukai pelapis pagar setengah tembus pandang itu.
Kita punya alasan utama: privasi. Tak enak bila kehidupan di balik pagar tampak dari jalan. Yang saya sebut kehidupan bukan cuma orang bersila dengan hotpants tetapi juga kursi tamu dan TV — bahkan mobil.
Setelah privasi, alasannya adalah keamanan. Yang termasuk dalam keamanan adalah kenyamanan karena menyangkut pengamen dan pencari sumbangan yang memprioritaskan pintu rumah yang terbuka. Pintu terbuka akan lebih terlihat jika tak dihalangi pagar bertabir.
Alasan lain? Umumnya rumah berhalaman sempit sehingga jarak pintu atau jendela dengan jalan kadang cuma dua meter. Tapi bukankah sejak dulu pun banyak rumah begitu, mengapa penghuni tak perlu memasang tabir pagar?
Sekarang desain pagar yang bagus di atas kertas pun akhirnya akan dimakan tabir. Mestinya sejak awal tukang las tak perlu repot, cukup membuat rangka pagar sederhana dengan sekian lubang sekrup.
Sebetulnya solusi tetap ada. Bangunlah pagar tembok sesuai ketentuan, tetapi lubangnya di bawah. Pelintas yang ingin melongok ke dalam harus jongkok atau merangkak.
Pagar-pagar di rumah kita adalah cerminan sosial kehidupan suatu wilayah. Dulu rumah orang “miskin” di kampung dan desa tak berpagar. Sekarang hanya orang makmur di cluster tertentu yang berani tak berpagar. Satpam, anjing, dan alarm siap menjaga. Bila perlu ditambah pagar virtual dari dukun.
Saya teringat komentar Fickry tahun lalu ketika saya memposting jambu air. Di Canberra, katanya, rumah tak boleh berpagar. Hasilnya “pekarangan sarat warna“.
Di sini? Sepatu dan sandal hilang duluan. Kucing tetangga lebih leluasa masuk-keluar. Tapi arsitektur mestinya bisa memberi solusi.