Belajar dari Foto (tentang) Nukman Luthfie

▒ Lama baca 2 menit

GUYON KOMUNAL, PRIVASI, DAN HUKUM.

Foto Nukman Luthfie, salah satu pesohor dalam jagat online Indonesia, di Facebook tadi pagi bisa ditimbang dari beberapa sisi. Timbangan terhadap hasil jepretan kamera saku saya di tempat terbuka, tanpa bingkai acara “dalam rangka”, itu bisa diringkas menjadi tiga hal.

Pertama: hanya guyon komunal. Tapi komunal yang bagaimana karena karena dalam jejaring sosial teman dia belum tentu teman saya, begitu juga sebaliknya. Meskipun berada di jejaring kecil yang sama, kesan dan opini setiap orang bisa berbeda-beda, apalagi kalau kebun binatangnya berlainan.

Yang kedua: privasi semakin menipis. Tanpa aktif dalam sebuah layanan online pun seseorang bisa terpampang, dikenali, dan dikomentari oleh orang lain — apalagi jika dia aktif. Ini jelas mengerikan jika orang sampai nyaris tak punya kehidupan pribadi. Celakanya, yang namanya komentar seringkali di luar kontrol si terpotret. Istilah para aktivis sebuah portal: “merusuh”. Komentar melenceng dari konteks.

Nah inilah soal yang ketiga: adalah hak Nukman dan setiap orang, termasuk saya, untuk berkeberatan terhadap pemuatan foto diri yang tak cocok di hati. Apalagi UU Hak Cipta mengatur hal itu (misalnya: pasal 20, pasal 21, pasal 22).

Untuk soal kedua dan ketiga, sejauh saya merasa, aman saja. Nukman tahu kalau saya foto setelah kami bersirobok di trotoar, bahkan dia bilang, “Entar diposting di status ya.” Dia pun ber-hehahehe dalam komentarnya.

Memang, bagi yang tak mengenal kami, teks dalam foto itu kejam. Nukman saya jadikan orang yang penting tapi secara situasional mengganggu kepentingan saya. Itu hanya gurauan, karena yang terjadi tidak sesengak itu. Kami sudah lama saling mengenal.

Bagaimana jika saya menjepret Nukman secara diam-diam, dengan latar kejadian dia bukan sedang mengantar anak ke sekolah, lantas saya membuat teks foto tanpa semana-mena, pokoknya merugikan dia? Tentu saya harus mencabut foto, menemui dia untuk meminta maaf, sambil mencari pengacara (untuk mendamaikan).

Kalau bicara pemuatan foto di layanan online, sebetulnya tak hanya terjadi pada Nukman. Banyak bloggers mengalaminya dan “harus menerima” karena alasan “guyon komunal”. Ndoro Kakung termasuk langganan saya. Sejauh ini dia mengalah sekaligus terhibur (mungkin malah ketagihan), dan tidak memerkarakan saya — untuk kemudian membalasnya. Maklumlah dia seteru mesra saya. Ralat: tepatnya, saya seteru bagi dia.

Lantas di mana batas kepantasan pemuatan foto orang lain dalam media jejaring sosial? Selama ini kita memakai standar ganda dan prinsip yang sifatnya kasuistis (terhadap si A bisa, terhadap si B berhat-hati).

Tentu dalih “privacy is so yesterday” dan “jangan bergaul kalau gak mau diusili” tidak cukup. Barangkali tip ini bisa menjadi katup pengaman: jangan sampai menistakan orang, kalaupun dia tampak lucu harus tetap keren. Syukur jika keluarganya ikut senang. Foto seseorang ngiler selagi tidur tentulah tak menyamankan siapapun yang melihat, terutama si terfoto.

Menurut Anda?

Tinggalkan Balasan