Kota Terbaik untuk Pejalan Kaki

▒ Lama baca 2 menit

SEMOGA ADA DI BENAK PARA KANDIDAT 244 PILKADA(L).

Sayang tak ada yang saya tanya, siapa yang memetik buah kelapa di tikungan itu. Mestinya sih ada. Setidaknya ada yang memungut kalau jatuh. Lebih dari itu, toh tamannya terawat. Kelapa tak dibiarkan mengering sampai jatuh sendiri atau dibiarkan jadi santapan bajing.

Memang soal kelapa. Tapi saya tidak bicara soal kampung biasa. Ini kampung besar bernama Jakarta. Ada kawasan tertentu yang hijau dan teduh. Misalnya di Kebayoran Baru yang ada kelapanya tadi. Itu di seberangnya kawasan bisnis Blok M, Jakarta Selatan. Di sekitar Taman Langsat juga teduh, sehingga mobil yang terparkir di sana sering kena tahi burung.

Sebagian Menteng juga begitu. Nyaman bagi pejalan kaki. Bedanya, Menteng dirancang oleh tim arsitek Belanda (P.A.J. Mooijn), sedangkan Kebayoran Baru oleh tim arsitek Indonesia (Mohamad Soesilo, murid Thomas Karsten).

Jadi, langsung ke pokok tujuan, saya mengimpikan seluruh kota dan semua kota hijau dan teduh seperti kawasan makmur? Ya. Harus. Tidak persis plek, tetapi spiritnya sama. Memang sih, banyak kantong wilayah yang di banyak kota yang kerontang, hanya berisi beton. Tetapi mestinya bisa. Bagaimana caranya, tentu saya tidak tahu karena saya bukan penguasa wilayah yang bisa menggerakkan para ahli nan cerdik lagi cendekia — syukur bila jenaka.

Demikian pula halnya dengan pembangunan kawasan baru untuk kelas sosial-ekonomi apapun. Harus teduh dan hijau. Kota yang baik adalah kota yang ramah untuk pejalan kaki. Memang kita hidup di negeri tropis yang panas. Tidak mungkin sesejuk negeri maju di belahan subtropis dan yang lebih dingin. Tetapi justru itu tantangannya, bukan? Singapura juga panas. Batam juga panas. Tetapi nyatanya berbeda. :D

Jalan kaki yang menyamankan warga bukan sekadar persoalan tersedianya trotoar, karena hal itu mensyaratkan banyak hal yang memang kompleks. Badan jalan dan bahu jalan hanyalah muara dari sejumlah soal: dari kualitas perilaku pengguna jalan, kebijakan tata ruang, manajemen sampah, sampai persoalan ekonomi (dari kaki lima sampai kafe tanpa parkiran). Oh ya, tentu juga soal kejahatan dan gangguan jalanan, dari penodong dan pemabuk sampai penebar ranjau paku.

Tahun ini ada 244 pilkada (tujuh pemilihan gubernur, 237 pemilihan bupati/wali kota — kalau dipukul rata, dalam seminggu di Indonesia ada 4-5 hari pencoblosan eh pencontrengan!). Kalau masing-masing kandidat menggunakan layanan internet untuk komunikasinya, maka kita akan dapat memantau siapakah yang menjanjikan terwujudnya kota yang ramah bagi pejalan kaki. Janji dalam kemasan pesan yang mudah dicerna. Setidaknya janji untuk sebagiah wilayah kota sebagai rintisan proyek percontohan, selama lima tahun pertama menjabat.

Tanpa janji untuk mempernyaman pejalan kaki, para kandidat pilkada hanya jualan pil kadal. Bagaimana dengan para tuan dan nyonya di legislatif daerah? Marilah kita percaya bahwa mereka semua adalah orang-orang pintar berpandangan maju.  Nah, warga yang tidak pintar seperti saya hanya bisa membayangkan sebuah award bernama Kota Terbaik untuk Pejalan Kaki.

Tinggalkan Balasan