Kematian dan Garis Akhir Derita

▒ Lama baca 2 menit

CATATAN PASCA-NATAL.

“Terkadang aku menyesal karena gagal mengupayakan ‘perpanjangan waktu’ buatmu.” (Facebook, 24 Desember 2009, 19.09).

“PakNo sering tanya: ‘baiknya aku menyerah atau bertahan?’ Aku bilang ‘terus bertahan…’, meskipun aku nggak tega melihatnya. (Japri adik saya, tentang adik saya satunya lagi dalam paragraf barusan, 25 Desember 2009, 00.03).

Tanggal 28, tiga hari setelah Natal, menjelang waktunya itu tiba, adik saya yang masih sadar berucap kepada pendeta bahwa dirinya siap. Setelah itu dia sempat menanya keponakan yang menunggunya apakah sempat tidur, dan lantas bagaimana soal pekerjaan. Pagi sekitar pukul 9.45 dia berpulang. Tak tega saya menceritakan deritanya di sini. Esok siangnya, di bawah gerimis, dia dimakamkan di sebelah bapak saya.

Memang tak mendadak. Tetapi situasi memburuk rasanya berlangsung cepat dari hari ke hari. Ketika saya menjenguknya ke Yogyakarta, 12 Desember, dia tampak menderita. Saya tak tega. Sehari setelahnya, 13 Desember, dia mengganti gambar profilnya di Facebook dengan mesin cuci.

Ya, dia masih punya rasa humor meskipun pahit. Ketika menunggu mobil penjemput tiba seusai cuci darah, saya sempat membuat foto bercanda dengannya bersama ibu, seolah sedang di rumah bui.

Selingan tetap diperlukan dalam situasi sulit. Foto itu, tanpa melihat konteks, adalah foto rutin tentang cengengesannya sebuah keluarga. Sejak sebelum era fotografi digital, saya dan adik-adik memang kerap membuat foto-foto tak penting.

Nyatanya, seteguh apapun kami sekeluarga mencoba menaklukkan galau hati sambil terus mencari upaya terbaik, kondisi dia terus memburuk. Komplikasi mengikuti hukumnya sendiri. Mungkin lucu padahal pahit: dia sadar mestinya dirinyalah yang menjaga ibu kami yang sudah berusia 77 tahun, dan bukan sebaliknya. Ada rasa bersalah setiap kali dia melontarkan kontradiksi itu.

Keadaan memburuk dan arahnya adalah suatu hal yang dia pahami sejak awal, sehingga dari tahap ke tahap dia paham skema yang ada dalam benaknya: setelah ini adalah itu, setelah organ ini begitu maka akibat lanjutannya begini. Kognisi dan internet membantunya membuat sebuah peta perjalanan kemungkinan. Peta panjang yang dia pahami sejak jauh hari. Dokumen iridologis beberapa tahun lalu, yang kami temukan setelah dia berpulang, membuktikan bahwa dia selalu mencari tahu tentang kondisi tubuhnya.

Tanggal 13 Desember di rumah Yogya (dua minggu sebelum dia meninggal), selagi saya menunggu taksi penjemput ke bandara, adik saya geli melihat saya sedang menalikan sneakers, “Ha kowe iki arep tinju, po?” (Lha kamu akan tinju, apa?). Kebetulan saya memakai sepatu cap Everlast. Kami tertawa bersama. Tapi tawa dia lemah. Tubuhnya tak sanggup memompakan energi tawa sebagaimana mestinya.

Kami memang terbiasa bercanda. Apalagi sejak kecil tak ada panggilan mas dan mbak untuk saudara yang lebih tua. Lucunya hingga kini kami sering saling sapa dengan “pak” atau “bu”. Itu berlangsung sejak kami, pada 1981, punya keponakan — padahal saat itu kami masih belia, bahkan dua yang terkecil masih SMP.  Dia juga yang tetap memanggil istri saya (mbakyu iparnya) dengan “wuk”, mengikuti saya, sejak saya belum menikah 18 tahun lalu. Maka dalam japri, adik saya menyebut Pak No untuk Prono yang kemudian almarhum itu, menyusul kakak sulung yang berpulang sehari sebelum Natal 2008.

Bagi saya, dia adalah arsitek yang baik: mau dan bisa memahami klien, tapi juga tak membebek karena tetap menyodorkan hal yang menurut keyakinannya adalah respon terhadap kebutuhan melalui solusi keruangan (spasial).

Proses panjang perancangan rumah saya kami lakukan dengan MSN Messenger pada tahun 2000. Dia dengarkan semua kebutuhan dan kebiasaan saya — juga keterbatasan ekonomis saya. Sesuatu yang tidak sulit karena dia memahami saya yang juga kakaknya. Sama sekali kami tak membahas bentuk dan rupa bangunan. Gambar yang saya kirim via messenger pun berupa skema mirip sekumpulan himpunan, ada yang berinterseksi, dengan sejumlah panah ranah dan legenda penjelas. Kami bicara soal konsep.

Dalam perjumpaan langsung, hal sama pun berulang. Kami banyak berdiskusi — tapi dia yang lebih banyak menggambar dan menghabiskan kertas. Dia hanya ngakak ketika saya sok tahu mengikuti Frank Lloyd Right: form and function are one — bukan bentuk mengikuti fungsi.

Hasilnya? Rumah sederhana saya berbanyak debu karena terlalu banyak lubang udara. Kalau hujan deras kadang kena tempias. Saya anggap itu harga sebuah keinginan dan keyakinan. Padahal dia sudah mengingatkan. Saya pun tak mau pasang AC, tapi solusinya sudah membuat kami terbahak: kalau gerah saya akan buka baju, cuma sarungan, selayaknya orang kampung — sesuai kultur saya. Saya orang Jabodetabek, jarang menerima tamu, sehingga itu bisa dan boleh saja. Arsitektur yang baik adalah yang membuat penghuninya nyaman dengan pilihan cara hidupnya. Itulah keyakinan kami.

Selamat jalan. Sang Arsitek Agung telah memanggilmu. Hitungan dangkal manusia tak pernah paham teka-teki kehidupan selain mencoba menafsirkan bahwa ini adalah garis akhir derita.

Terima kasih saya dan keluarga besar kepada semua pihak atas perhatian, dukungan, dan bantuan Anda. Terlampir YouTube yang dia unggah di Facebook-nya pada 13 Desember, 17.42. Klip dari Queen, Friends Will Be Friends. Dia terharu, bahkan sampai menangis, setiap kali dijenguk kawan-kawannya…

Tinggalkan Balasan