Catatan Pasca-koin

▒ Lama baca 3 menit

MASIH ADA SEJUMLAH TANYA.

“Cuma sebatas itu ya kepedulian orang urban dan kelas menengah? Di luar Prita nggak perlu diurus? Apa karena Mbah Minah, dan lainnya, bukan pengguna internet?” tanya seseorang kepada saya. Itu pertanyaan kesekian dari orang yang berbeda.

Ada pula yang seperti ini, “Lho katanya Langsat itu rumahnya blogger? Tapi mana blogger-nya, kok yang gabung sejak awal sebagai relawan malah banyakan orang-orang biasa, bukan blogger? Padahal katanya ini soal kebebasan berpendapat di internet kan?” Saat itu memang jam kerja, dan sebagian bloggers masih ngantor.

Di tengah kesibukan ini-itu, tapi bukan menghitung koin, saya mendapatkan SMS, “Apa bnr blogger ibukota tuh sukanya kopdar, mau dtg ke acr apa aja asal bs skalian ktm tmn?”

Itu belum cukup. Ada yang bilang ke saya, “Uh, Prita jadi seleb ya sekarang. Malah denger-denger dia udah terima duit dari dokter-dokter tapi diem aja?”

Oh ya, ada pula yang begini, “Pinter ya ambil momentum. Langsat dan dagdigdug dikenal orang. Tapi positif kok.”

Hmmm… perlu paparan jernih, jujur, dan sebisa mungkin tidak menyinggung siapa pun untuk membahas ini. Dari mana mulainya?

Prita yang Canggung

Tentang Prita terima duit di luar koin saya tidak tahu. Anehnya pertanyaan ini saya dengar dari beberapa orang yang berbeda dan masing-masing mengaku sumbernya dari “kalangan dokter”. Black campaign? Entah. Atau dokternya menyumbang pakai koin? Oh, memang ada, bahkan dia menggerakan orang untuk menyumbangkan koin demi Prita. Sayang dia kurang suka diekspose. :)

Kesan saya tentang Prita, dia sendiri kikuk dan tak nyaman menjadi sorotan, apalagi diperlakukan seperti seleb. Menjadi bintang berarti memenuhi harapan banyak orang. Misalnya harapan berbincang lama dari pendukung dan kemudian relawan. Kesempatan itu pernah ada, waktu Obrolan Langsat, September lalu. Jika Anda pengguna Facebook, dapat melihatnya di sini, berikut foto-foto khas FB. :)

Saya tak menghadiri Konser Koin untuk Keadilan yang digagas oleh Adib Hidayat (bravo!), tapi dari laporan di Twitter terasa seru banget. Yang saya tahu, sebelum hari konser Prita merasa terharu sekaligus tak enak hati. Sepertinya dia khawatir dianggap membesarkan nama diri. Dia masygul. Apalagi sekian lama media menjadikan dia sebagai tokoh sentral. Tetapi apa boleh buat dia harus berbicara, antara lain supaya orang lain tak mengalami.

Kepedulian kelas menengah

Jika membatasi kasus Prita dan dukungannya sebatas ranah internet, maka itu boleh disebut persoalan kelas menengah. Kelas sosial yang punya akses terhadap informasi dan ikut memproduksi konten — lalu menjalin kerja sama karena internet.

Membesarnya dukungan terhadap Prita, melalui koin, dan akhirnya konser, juga karena peran mainstream media — terutama TV. Tanpa TV, gaungnya kurang kuat. Tanpa TV (dan koran), orang-orang biasa yang bukan pengguna internet takkan tergerak untuk menyumbang dan menjadi relawan penghitung koin.

Sampai di sini masalahnya menjadi menarik. Bagi sebagian orang persoalannya adalah terusiknya rasa keadilan karena individu (seorang Prita) dimintai ganti rugi Rp 204 juta oleh lembaga besar (Omni), “hanya gara-gara mengeluhkan pelayanan”. Ada solidaritas terhadap mereka yang dirasa teraniaya.

Apakah itu karena e-mail, atau lantaran surat pembaca, atau tersebab obrolan arisan, barangkali tidak penting. Ini soal konsumen yang berposisi sebagai Dawud melawan korporat yang menjadi Goliath.

Dua arus utama kepentingan bersua. Yaitu hasrat akan kebebasan menyatakan pendapat (dengan penolakan terhadap kriminalisasi melalui pasal 27 ayat 3 UU-ITE) dan terlukainya rasa keadilan. Masing-masing arus bisa berjumbuh, bisa juga agak terjauhkan, baik bagi pemakai internet maupun bukan. Itu pun masih ditambah ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik penegakan hukum. Di dalamnya ada juga kekesalan terhadap negara.

Kasus orang kecil selain Prita

Jika kita digugat oleh desakan atas nama moral, karena tak melakukan gerakan serupa — berupa sikap (dukungan suara) dan tindakan (mengumpulkan uang) — terhadap kasus pidana lain, dengan korban orang kecil, maka bisa saja kita cenderung mengalihkan diskusi. Kenapa? Karena tak nyaman.

Tentu saja alasannya banyak. Tapi ada satu-dua yang saya coba rumuskan — kalau salah silakan Anda koreksi. Yang pasti tulisan ringkas bisa mempermiskin nuansa, dengan akibat saya akan dianggap sengak. Misalnya?

Urusan pencurian kecil berbeda dengan kasus Prita. Sekecil apapun pencurian, dan apapun motifnya, sudah diatur dalam hukum pidana. Kurang lebih ini seperti gumam, “Emang kalo sandal baru diembat kita nggak boleh nganggep yang ngambil itu maling?” Artinya, by default sebagian dari kita menganggap itu “biasa”. Soal seperti ini sebetulnya mengisi pikiran banyak orang, tapi kita sungkan menyampaikannya.

Adapun dalam kasus Prita, persoalan utama adalah kriminalisasi (apa yang dia lakukan di mata jaksa dan hakim adalah tindak kejahatan). Persoalan lainnya — yang jujur saja tak dapat kita pisahkan — adalah wilayah perdata tentang gugatan ganti rugi. Dua perkara berjalan paralel dan menurut publik itu melukai rasa keadilan.

Jika menyangkut “kejahatan kecil”, kita akan tersentak manakala ganjarannya melebihi kepantasan, karena hanya merujuk pasal semata.

Persoalannya menjadi kontekstual dalam arti diperbandingkan: sama-sama melanggar pasal, tapi koruptor berkemungkinan lebih enak pada akhirnya. Tutup mata Dewi Keadilan ternyata sudah dibuka dan dibuang. Neracanya pun tak pernah dikalibrasi. Itu menyakitkan bagi rakyat.

Gugatan moralnya adalah: kenapa orang, terutama pengguna internet (termasuk saya!), hanya bisa jengkel, dan tak membuat aksi dari pembolasaljuan isu sampai gerakan nyata? Anda yang akan menjawab. Kapling ini bukan monopoli saya selaku pemilik blog. :)

Blogger, gerakan spontan, sampai Langsat

Saya belum, dan memang tidak ingin, membuat sensus berapa banyak bloggers yang memobilisasi pemberian koin dan menjadi relawan. Saya hanya bisa bilang banyak. Termasuk di dalamnya adalah yang tidak menghitung koin karena melakukan hal lain (pencatatan, pengangkutan, bantuan uang, dsb). Intinya adalah keterlibatan langsung.

Perihal gerakan koin, pada mulanya ini sporadis, spontan. Awalnya tak terbayangkan bahwa jumlahnya akan banyak sehingga merepotkan. Tanpa relawan dan dukungan logistik plus konsumsi, koin bisa menjadi timbunan bisu yang tak tertangani.

Karena spontan, juga tak terpikirkan soal Paypal dan cara ber-uang yang lain. Karena spontan, maka tak terpikirkan bahwa logo kuning-hitam-putih bisa dianggap mirip lambang Partai Keadilan. Oh ya, dalam spontanitas itu sejak awal tak niat pihak tertentu menjadi sentrum. Setiap penjaring koin boleh menamai sendiri gerakannya dan boleh membuat logo sendiri. Adapun situs koinkeadilan.com hanya diniatkan sebagai salah satu simpul informasi, bukan gerbang utama.

Karena spontan, dan mungkin naif, sejak awal terpikir tak ada bintang, baik berupa lembaga maupun orang. Tapi media membutuhkan narasumber, dan di sisi lain pekerja koin juga butuh memobilisasi dukungan (lebih utama lagi: pertanggungjawaban terhadap publik). Akhirnya ada yang merelakan diri tampil sebagai juru bicara secara wajar. Yang saya maksud wajar adalah tidak perlu bergaya Subcommandante Marcos yang menutupi wajah (tapi menampakkan pipa).

Tentang Langsat, hahaha, sebagian besar relawan tak tahu itu kantor apa, bahkan nama angkringan Wetiga pun tidak penting. Langsat cuma alamat. Langsat bisa diganti lapangan voli, balai RW, atau nama lain di tempat yang berbeda. Langsat hanya nama jalan, dan di sana terdapat banyak rumah. Arti Langsat bagi istri dan anak saya berbeda dari arti Langsat di benak kerabat tetangga sebelah dan depan.

Tinggalkan Balasan