Hujan, Bal-balan, dan Ruang Publik

▒ Lama baca 2 menit

MAKA ADA SAJA ANAK OBES DENGAN ASUPAN KALORI BERLEBIH. :)

Saya tak paham sepakbola tapi kadang bisa menikmati sejenak bal-balan ngawur anak kecil. Saya sebut ngawur karena tanpa sepatu, tanpa pelatih, lokasi di mana saja, dengan aturan yang dibuat sendiri. Dari sana saya selalu melihat ada saja bocah yang gesit, lincah, ulet, dan bisa menjadikan bola sebagai bagian dari dirinya.

Tak istimewa, kata Anda. Setiap anak lelaki pernah mengalami, kata Anda. Bahkan anak perempuan saya pun mengalami. Dulu setiap kali saya atau istri menjemput ke SD-nya, si genduk sudah basah kuyup dan gosong, awut-awutan seragamnya, karena sedang bermain bola dengan anak laki-laki. Sampai sekarang dia lebih paham bal-balan ketimbang saya.

Anak dalam, anak luar

Bal-balan bocah itu saya nikmati tadi siang selagi berteduh di gardu pinggir lapangan beton. Lapangan yang tak sampai setratus meter dari rumah itu multifungsi: untuk basket, voli, dan futsal — tidak ada tenis. Saya berada di sana karena sepulang dari warung tiba-tiba hujan deras. Harus berteduh.

Mulanya anak-anak itu tetap di gardu. Satu anak berani berbasah melakukan dribbling di bawah guyuran hujan, dua lainnya ikut. Lalu tak sampai lima menit dua lainnya terpancing.

Siapakah mereka? Bukan anak-anak di RT saya. Tampaknya juga bukan anak RT sebelah. Tapi mau anak dalam atau anak luar kebutuhannya sama: ruang bermain.

Rasan-rasan tentang anak dalam dan anak luar sempat terdengar ketika lapangan itu dulu baru selesai ditata dengan iuran warga RW. Anak-anak kompleks dari RW lain ikut memanfaatkan. Mereka datang karena berteman dengan anak-anak RW pemilik lapangan. Ini hukum pergaulan.

Juga ada rasan-rasan bahwa (maaf) “anak kampung”, yaitu warga luar kompleks, ikut memanfaatkan. Ini hukum ruang hidup. Liebensraum. Setiap organisme butuh ruang untuk bermukim, makan, kawin-mawin, dan bermain (apakah semut dan lalat juga bermain-main tanpa tujuan?). Bahwa kebutuhan akan ruang hidup akhirnya menganeksasi teritori lain, sehingga peta hegemoni bisa berubah, itu adalah hukum kehidupan — tapi peradaban mestinya bisa menjinakkan, sehingga Amerika tak perlu menyerbu Irak demi minyak.

Saya berlebihan? Mari kita lihat. Warga sebuah kompleks makmur yang lingkungannya bagus (banyak pohon), punya jogging track, cenderung kurang suka dengan warga luar yang memanfaatkan area makmur untuk olahraga. Bahkan ketika sebuah sport center berbayar pun akhirnya disesaki orang luar, lengkap dengan berjubelnya kendaraan di parkiran, warga dalam pun merasa terganggu. Kolam renang kayak cendol, keluh beberapa warga. Banyak alay, keluh anak-anak priyayi.

Dalam urusan beginian, definisi warga luar tak cukup dilihat dari kawasan periferal yang rendah proksimitasnya dari sentrum. Beberapa tahun lalu di Kompas ada surat pembaca, dari warga Kota Wisata “Cibubur” (sebetulnya sudah di luar DKI), yang mengeluhkan keriuhan orang-orang dari jauh yang berwisata di kompleksnya pada akhir pekan. Strategi pengembang dengan menjual arsitektur aneh (menurut beberapa arsitek) akhirnya menjadi bumerang: orang-orang ingin melihat-lihat, padahal itu mengusik ketenangan penghuni.

Pelengkap bernama ruang terbuka

Tentang anak-anak yang bermain bola itu, jelas banget persoalannya. Mereka butuh ruang. Naluri mereka akan selalu mencari ruang, bahkan kuburan pun untuk bermain layangan dan perang-perangan.

Keterbatasan ruang juga melahirkan kreativitas semacam streetball (OOT: Aha! Di Polonia, Cipinang Cempedak, Jakarta Timur, ada perempatan yang punya ring basket). Maka dulu, ketika ada teman pulang dari Brazil, saya menagih dua hal: foto anak-anak bermain bola dan cerita tentang pembibitan maupun pengembangan bakat. Sayang sebagai pecandu bola hal itu terlewat olehnya. Dia lebih bersemangat berbagi pengalaman dan foto tentang cewek latinas. :))

Keterbetasan ruang? Versi siapa? Lihatlah beberapa kompleks perumahan kota besar pada hari libur. Tak sedikit anak-anak yang tetap di dalam rumah karena dalam tempurung hunian ada bacaan, TV, video, PlayStation, dan… internet! Kalau tidak di rumah, mereka diajak orangtuanya ke mal.

Mal adalah kebun binatang yang komplet, tetapi kandang satwanya (dan penghuninya) sudah berganti wujud sebagai branded shops, salon, kafe, resto, game arcades, dan… bioskop. Pengunjung cukup datang pagi dan pulangnya malam. Datang tanpa keringat, pulang tanpa peluh.

Tinggalkan Balasan