↻ Lama baca 2 menit ↬

TAK SEMUA PEMIMPIN ITU BERJIWA PERWIRA

Cewek 17 tahun itu tenang sekali menghadapi hujan pertanyaan dari sejumlah orangtua murid yang mayoritas kaum ibu. Dia, sebagai komandan unit kegiatan siswa sebuah SMA putri, dicecar soal beratnya jadwal latihan sehingga melelahkan anggota. “Ibu, dulu sebelum mendaftarkan diri itu bukannya siswa dan orangtuanya menandatangani pernyataan bermeterai?” jawab si cewek dalam pertemuan di aula.

Dalam surat pernyataan termaktub kesanggupan untuk serius berlatih. Secara implisit juga ada tuntutan agar siswa dan orangtua punya kesadaran membagi waktu. Saya kagum. Cewek itu tidak gugup,tidak emosional.

Ketika ada seorang ibu mempersoalkan menurunnya prestasi belajar anaknya, maka si cewek mempersilakan si ibu berbicara dengan guru dan kepala sekolah. Perihal sikap sebagain asisten pelatih yang mengabaikan surat dari orangtua, cewek itu bilang, “Terima kasih. Saya dan teman-teman akan mengevaluasi kinerja para asisten dan mencari tahu apakah benar mereka begitu.” Saya melihat kepemimpinan dalam diri cewek itu.

Suasana bertambah tegang. Sejumlah ibu mempersoalkan sejumlah hal, yang tentu saja di luar kewenangan si cewek. Lalu tampillah Bu Guru. Dengan tenang dia berujar, “Saya yang bertanggung jawab. Saya pembina kegiatan siswa… blablabla anuanuanu…”

Saya ingat pembuka kalimatnya, “Saya yang bertanggung jawab.” Sabtu siang pekan lalu itu saya mendapatkan sebuah kelangkaan. Pernyataan tentang tanggung jawab. Tak hanya sampai di bibir karena memang selalu ada tindak lanjut.

Tanggung jawab. Keberanian menanggung risiko. Menuruti nurani. Itulah default-nya pemimpin. Maka saya heran jika melihat petinggi di negeri ini sampai didesak-desak untuk mundur. Ketika desakan makin menguat, masih saja mereka mengulang dalih dan kilah memuakkan. Masih lebih gagah pelawak bodoh yang paling tidak lucu bila dibandingkan mereka.

Saya teringat beberapa negeri lain. Pejabat-pejabatnya segera meletakkan jabatan jika harus bertanggung jawab terhadap sebuah kasus. Meletakkan jabatan, mengundurkan diri, memang tak berarti pengakuan bahwa dirinya bersalah karena salah dan tidak perlu dibuktikan bila perlu sampai ke pengadilan tertinggi. Lagi pula yang bersalah seringkali adalah anak buah. Mereka meletakkan jabatan sebagai bentuk tanggung jawab.

Saya teringat jenderal di republik ini yang melemparkan kesalahan ke anak buah. Kurang lebih dia pernah berkata tidak mungkin bila setiap kali prajurit melakukan kesalahan maka atasan harus mundur. Sungguh naif. Jika masalahnya serius, misalnya kekerasan dan pelanggaran HAM bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, tentu tanggung jawab lebih dituntut.

Hari-hari ini kita menunggu lebih dari satu petinggi mengundurkan diri. Jika itu akhirnya ditempuh, saya beropini bahwa itu karena terpaksa. Bukan karena tanggung jawab dan tuntutan nurani.

Jika mereka punya sikap perwira, maka sejak awal tak melindungi bawahan yang kacau, tak meminta pengunduran diri pura-pura.

Jika mereka berjiwa perwira maka para tuan itu mengundurkan diri sejak awal kasus meletup. Tak usah menunggu verifikasi. Tak usah menunggu mahkamah.

Perwira sebagai jabatan adalah satu hal, hanya karier semata. Tapi keperwiraan ternyata soal yang lain lagi. Setidaknya itulah pelajaran kepemimpinan — tepatnya kekuasaan — yang sedang mereka presentasikan.

Jangan-jangan republik ini memang tak kenal malu. Mengaku bangsa religius yang menjunjung akhlak tetapi tingkat korupsinya tinggi. Tapi mungkin saya salah. Bisa saja sebagian tuan menganggap tingginya korupsi sebagai prestasi, dengan alasan, “Negeri lain, maksud kami pejabatnya gitu, mana berani korupsi?” Lapan anem, Ndan. Cuih!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *