PAMERAN F.X. HARSONO: THE ERASED TIME.
Apa sih kesalahan orang berdarah Cina di Indonesia? “Karena mereka Cina.” Jawaban itu membutuhkan telaah belasan ribu halaman buku. Jika ditambah obrolan dan seminar, bakal bertambah ribuan halaman lagi. Jika ditambah yang tersimpan di benak dan hati, entah berapa tebal dokumen yang akan dihasilkan.
“Lu tuh beruntung ya soalnya lu kan pribumi*,” kata seorang siswi berdarah Cina kepada temannya yang berdarah Jawa, sekeluar dari perpustakaan. Siswi-siswi sebuah kelas di sebuah SMA dekat Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, itu masuk ke perpustaakaan karena Pak Guru dua pekan lalu meminta mereka mencari tahu apa masalah aktual yang bisa mengoyak harmono sosial. Dalam waktu singkat didapatlah jawaban setelah membaca koran: Anggodo.
Sebagian siswi (dari 60-an persen populasi kelas itu adalah keturunan Cina) tak nyaman dengan kenyataan bahwa Anggodo keturunan Cina. Di sinilah konteks berbicara. Jika sesuatu yang tak menyenangkan dilakukan oleh seorang keturunan Cina, maka sebagian Cina lain akan merasa kikuk. Itu tak terjadi pada keturunan Arab, India, dan Eropa. Maka di antara siswi tadi ada yang mengkhawatirkan kerusuhan Mei 1998 akan terulang — suatu hal terjadi ketika mereka baru lima tahun bahkan kurang.
Hanya sebuah kebetulan jika pameran F.X. Harsono, The Erased Time, yang berakhir 14 November di Galeri Nasional, Jakarta, berlangsung saat Anggodo menjadi simpul kemelut konflik KPK dan Polri. Pameran itu, saya yakin, disiapkan jauh hari sebelum kasus itu sehingga tak ada kaitannya.
Tapi pameran dan Anggodo membuka kesadaran kita tentang “persoalan Cina” di Indonesia. Saya belum menemukan padanan kata yang netral untuk “(per)soal(an)” dan “masalah”. Jika menyangkut bahasa, hal beginian memang membuat kikuk.
Harsono, 60, salah satu anggota Gerakan Seni Rupa Baru itu, memindahkan kekikukan dengan membuka nama dirinya: Ong Hong Boen. Mestinya sih Oh Hong Boen, “Tapi saya nggak tahu kenapa panggilannya bisa Ong.” Harsono adalah anak Oh Hok Tjoe, pemilik studio foto Atom di Blitar, Jawa Timur.
Marilah kita jujur. Untuk alasan apakah kita menanyakan “nama asli” seorang Cina? Sekadar ingin tahu (tanpa bisa menjelaskan selain “pokoknya…”), supaya lebih paham, agar sebuah berita menjadi lebih lengkap dan hidup, atau untuk hal lain entah apa? Bergantung pada siapa yang kita tanya, bentuk relasi kita, dan unsur lain yang mewadahi sebuah konteks.
Harsono tidak bisa bahasa Mandarin. Dia hanya bisa menulis namanya sendiri. Tapi bisa atau tidak bahasa kesukuan Cina dan Mandarin, kita toh sama-sama merasakan sebuah gejala sosial, katakanlah “resinofikasi”. Pencinaan kembali. Sebuah cara untuk membingkai asal-usul dan identitas menjadi sebuah format pemahaman sepihak, dan setelah itu aturan pakainya bergantung pada posisi kita.
Pameran Harsono — berupa lukisan, foto, video dan instalasi — mengemas gugatan identitas dengan jelas, rapi (sangat Harsono), indah, dan menyengat. Foto-foto tengkorak dan belulang korban pembantaian terhadap hampir 200 orang Cina di Blitar pada era revolusi, hasil karya ayahnya selama penggalian pada 1951, tersaji sebagai kepingan sejarah pahit. Foto dan video keluarga korban, dan saksi, serta yang selamat, mengantarkan kita pada dua istilah yang sama-sama bisa merepotkan. Yaitu “menjadi Cina” dan “sebagai Cina”. Bisa juga ditambah “ternyata Cina”.
Menuliskan nama sendiri pada ratusan kertas,seperti yang dilakukan oleh Harsono, itu mungkin seperti hukuman “saya tidak akan bolos lagi” untuk anak sekolah. Mungkin juga sebuah proses pencarian identitas, yang di dalamnya ada tahap mencari riwayat dan sekaligus penyangkalan. Melelahkan. Menggelisahkan.
Saya sangat terkesan pada foto-foto yang terendam kotak air di bawah sorotan lampu merah. Ini bukan sekadar penggalian ingatan terhadap proses kimiawi kamar gelap di era fotografi digital. Pun bukan sekadar nostalgia masa kecil Harsono melihat ayahnya bekerja. Foto-foto yang seolah menunggu dientas untuk dikeringkan itu adalah gugatan tentang proses sosial dan budaya orang Cina di negeri ini. Proses yang terus berlanjut, sampai esok. Dengan maupun tanpa Anggodo. Bahkan misalkan Anggodo itu bukan keturunan Cina, kita masih akan bergelut dengan ihwal kecinaan.
Persoalannya, apakah kita semua bisa menjadi lebih dewasa, bijak, dan beradab; tak hanya mengulang itu-itu saja — dari prasangka, diskriminasi, sampai kekerasan bermotif (atau atas nama) rasial?
*) Sampai sekarang saya merasa aneh dengan istilah “pribumi” dan “nonpribumi”. Siapakah penduduk asli Indonesia? Hal sama berlaku untuk istilah “warga keturunan”. Bermula dari hati, segregasi mendapatkan ruang pada bahasa.