Pesta Blogger 2009 dan Relevansi Blog

▒ Lama baca 3 menit

KETIKA KONTEN PRIBADI MENEMUKAN BANYAK SALURAN.

“Ngapain aja teman-teman itu bikin Pesta Blogger? Ngeblog udah nggak hype lagi. Sekarang cukup ngikut FB ama Twitter udah bikin kita eksis,” kata seseorang yang sudah lama stop ngeblog, tapi ketika ngeblog pun juga jarang update. Oh! Eksis. Ehm.

Baiklah. Itu soal pilihan. Saya menghormati. Toh misalkan dia politikus, anggota DPR pula, pilihan itu tak merugikan negara dan rakyat.

Pesta Blogger 2009 (PB 2009) juga pilihan. Bagi yang bikin maupun datang. Inilah kopdar akbar. Kata orang, salah satu perbedaan bloggers Indonesia dengan beberapa negara lain adalah… suka kopdar bahkan membangun komunitas.

Kopdar dan berkelompok secara nyata itu tak hanya mendatangkan rasa nyaman, punya kawan, tetapi bisa memelihara rasa untuk tetap ngeblog. Setidaknya postingnya dibaca kawan sekaum. Begitulah harapannya.

Masih Perlukah Ngeblog?

Menurut saya masih. Tapi kata “perlukah” saya revisi menjadi “menarikkah”. Adapun Facebook (FB) dan Twitter, serta layanan mikroblog dan jejaring sosial, bagi saya adalah sarana komplementer bagi bloggers. Bahkan sebetulnya tak hanya komplementer (“ya ini, ya itu”) tetapi dalam kasus tertentu justru merupakan paduan konvergen.

Ngeblog dengan “cara lama” tetap menarik karena tak semua perasaan dan pikiran cukup disampaikan dalam kemasan teks sesuai kuota SMS.

Di sisi lain, kalau kurang waktu menulis, dan terlebih memang tak semua hal harus dibahas berkepanjangan, ada wadah yang disediakan oleh mikroblog.

Kelebihan mikroblog adalah berjejaring — kecuali penggunanya memang sejak awal ingin mencemplungkan pesan buat diri sendiri. Mikroblog juga mempermudah content sharing, termasuk posting dari blog sendiri.

Konten Pribadi dan Konversasi

Sebagian orang secara sinis menyebut media sosial dan jejaring sosial (keduanya akhirnya memang berkonvergensi karena dukungan teknologi) hanya menjadi tempat penyaluran hasrat eksibisionistis. Pamer. Pelakunya, maupun aksinya, secara salah kaprah disebut sebagai “narsis” — maksudnya sih “narsisis” dan “narsisistis”. :P

Lalu? Kondisi dunia blog sudah berbada dari lima tahun lalu. Sekarang kian layanan kian diperkaya (ingat Blogspot yang dulu tak bisa dikomentari?), mesin blog seperti WordPress terus berkembang, dan yang lebih penting ini: layanan mobile kian mempermudah urusan dalam “berstatus” dan berkonversasi.

Aha! Konversasi! Ya, memang itulah pendorong utama kegiatan bermedia sosial. Blog yang dulunya cuma tumpahan pribadi yang dapat dibaca publik, tapi tak jelas publik itu siapa (kecuali berkomentar), akhirnya mendapatkan wadah dan cara untuk memperjelas siapa yang kita tuju dan respon apa yang kita harapkan. Dengan si Taufik kita bicara politik, dengan si Upik kita bicara lipstik.

Tapi bagi saya ada yang lebih menarik. Media sosial telah memperjelas informasi apa yang menarik dan dibutuhkan oleh khalayak. Apa yang diberikan oleh media terlembagakan (ya, maksud saya mainstream) tak semuanya menarik, tak semuanya penting, tak semuanya memenuhi kebutuhan.

Jika dan hanya jika layak, maka sebuah berita akan dibagikan dan terus berbiak. Peran peer groups sangat penting, melebihi tuan editor yang sok tahu. Bahwa orang hanya akan mendapatkan informasi sekilas, tanpa kedalaman, itu soal yang lain lagi — ingat penyebaran berita sidang pertama Antasari yang lebih heboh di urusan kamar? Bahwa kecenderungan itu (termasuk peran peer groups) akan dimanfaatkan oleh banyak pihak — sejak politik sampai pemasaran produk — itu juga soal yang lain lagi.

Kejenuhan dan Kompetisi

Sebagian bloggers mulai jarang meng-update blognya dengan alasan, “Capek nulisnya, tapi sepi.” Saya maklum bahkan setuju. Apalagi jika untuk menulisnya sangat bergantung kepada komputer dan internet kantor (dan warnet) seperti lima tahun lalu, ketika laptop masih mahal dan mobile internet belum meluas.

Menulis teks lebih dari 140 karakter, tanpa dipenuhi singkatan, memang melelahkan. Sudah begitu tak ada yang membaca apalagi mengomentari. Padahal bagi umumnya bloggers, ramainya komentar adalah kenikmatan.

Tapi kita harus realistis. Sehari tetap 24 jam, dan yang sepertiga untuk tidur. Misalkan kemampuan membaca mengalami percepatan sepuluh kali lipat, jumlah blog (terutama kontennya) sekarang sudah terlalu banyak. Aplikasi reader sudah kewalahan. Jika ditambah Facebook dan Twitter maka belantara teks itu kian dan terus merimbun tanpa kita ketahui batasnya.

Ujung-ujungnya atas nama waktu adalah seleksi. Siapa yang menulis, apa yang ditulis. Ujung-ujungnya bagi orang tertentu, disadari atau tidak, adalah kompetisi dalam menghasilkan dan mempublikasikan konten. Ada persaingan untuk mendapatkan perhatian bahkan respon (komentar) dan reaksi (bookmarking, sharing).

Justru di situlah konten blog model lama (menulis melebihi SMS), yang enak dibaca dan “bernilai”, tetap punya tempat. Jika didukung oleh SEO, komunitas, dan layanan “cross-posting” (sekali menulis di Politikana dan Ngerumpi sekaligus untuk blog pribadi) serta sharing melalui mikroblog dan jejaring sosial, maka konten itu semakin terbaca — setidaknya terdokumentasikan.

Setidaknya kalau tak dibaca hari ini masih akan dibaca orang, termasuk si penulis, pada lain waktu — syukur jika bisa menjadi jadi rujukan bagi orang lain.

Dokumentasi dan Sejarah

Kalau bicara soal “konten bernilai”, bagi saya itu tak terbatas pada cara ngeblog model lama seperti ini. Apa yang ada di Twitter dan Facebook juga bisa bernilai. Dari sana kita bisa memahami trending topics tentang banyak hal.

Lima tahun lagi — oh tak sampai selama itu — kita bisa becermin dari kepingan potret sosial kita. Saat itu kita akan mendapatkan contoh posting unik dan menggigit tentang kebahagian memikiki BlackBerry pertama.

Tak sampai lima tahun lagi kita akan mengetahui kafe manakah yang pernah menjadi favorit tapi tutup. Kalau mau contoh terdekat, McDonald’s pun (akan) tinggal kenangan.

Tak sampai lima tahun lagi, beberapa dokumen Wiki akan mendapatkan tambahan info tentang aksi komunal — dari pembelaan untuk Prita sampai penanganan kesiapan menghadapi bencana — yang diaktivasi oleh jejaring sosial dan mikroblog.

Spirit ngeblog tetap relevan — bagi yang doyan dan bisa menulis. Salurannya kian beragam. Tak ada yang perlu dicemaskan (berlebihan). Sampai jumpa di PB 2009.

© Sumber ilustrasi: logo Pesta Blogger 2009 ada pada Ekko Edi Sucipto dan panitia; coretan ikon oleh Spoongraphics

Tinggalkan Balasan